Industri Karet Terancam, Workshop IRRDB–IRRI di Palembang Serukan Riset Kolaboratif dan Hilirisasi Produk

Penyerahan cinderamata yang di serakan oleh Dr. Tjahjono Herawan (SEVP RIS PT RPN) kepada pemateri dan poto bersama Alex K. Edy ( Ketua Umum GAPKINDO), DR. Kuruvilla Jacob (IRRDB Fellow), Dato' Seri Dr. Abdul Aziz S.A. Kadir, Dr. Jacob Mathew(Rubber Resea-Salamun/Radar Palembang -
PALEMBANG,KORANRADAR.ID – Kota Palembang kembali menjadi sorotan dunia industri karet alam. Selama tiga hari, 20–22 Oktober 2025, para pakar, peneliti, dan pelaku usaha dari Malaysia, India, Filipina, Kamerun, hingga berbagai wilayah Indonesia berkumpul dalam IRRDB–IRRI Workshop 2025 bertema “Facing Challenges in the Natural Rubber Industry: Combating Diseases and Seizing Opportunities” di Novotel Palembang Hotel & Residence.
Dalam forum yang digelar International Rubber Research and Development Board (IRRDB) bersama Pusat Penelitian Karet Indonesia (IRRI) tersebut, seluruh peserta menyuarakan pesan yang sama: industri karet tidak bisa lagi berjalan dengan pola lama. Tanpa riset, hilirisasi, dan kolaborasi lintas negara, sektor ini akan tertinggal.
Penyakit Daun dan Harga Murah Jadi Pemicu Alih Fungsi Kebun
Ketua Gapkindo Sumatera Selatan, Alex K Eddy, mengungkapkan bahwa saat ini banyak kebun karet di Sumsel berubah fungsi menjadi kebun sawit, tebu, dan singkong. Penyebabnya bukan hanya serangan penyakit daun seperti Colletotrichum, tetapi juga harga karet yang terus anjlok, serta minimnya regenerasi petani.
“Sejak 2017, produksi karet Indonesia turun dari 3,8 juta ton menjadi hanya 2 juta ton pada 2024. Harga karet basah sekarang hanya Rp13 ribu per kilogram, padahal idealnya setara 2,1 USD,” tegas Alex didampingi oleh Dr. Tjahjono Herawan (SEVP RIS PT RPN), Alex K. Edy ( Ketua Umum GAPKINDO), Dato' Seri Dr. Abdul Aziz S.A. Kadir dan Dr. Suroso Rahutomo (Kepala Pusat Penelitian Karet)
BACA JUGA:Petani Karet Mulai Bersiap Hadapi EUDR, Sosialisasi “Sedari” Digelar di Pusat Penelitian Karet
Ia juga menyebutkan bahwa negara-negara seperti China kini memproduksi karet sintetis, sehingga permintaan terhadap karet alam mentah semakin berkurang. Jika kondisi ini dibiarkan, petani dikhawatirkan akan "patah hati" dan meninggalkan komoditas karet sama sekali.
Penyebab kekhawatiran pertama alat prosesor karet bertani memproses dan mengekspor semua produk Karet mengalami penurunan drastis banyak dampak dari penyakit yang menyerang daun yakni Colletotrichum.
"Penyakit ini menjadi sangat serius rupanya penyakit itu kalau terlambat ditangani pasti kita akan kehilangan banyak pohon karet," tegasnya.
Dan kedua suplai pemerintah jadi petani karet bertahan dan patah hati karena harganya rendah, mudah terserang penyakit tidak ada solusi, sehingga batang pohon karet ditebang kemudian di jual. Sehingga terjadi alih fungsi lahan dengan menanam sawit, singkong, tebu dan lainnya.
BACA JUGA:Gapkindo Sumsel Sebut Picu Turunnya Harga Karet
Melalui workshop untuk memperbaiki penyebab utama dari permasalahan petani, jangan sampai karet mati karena karet dalam bentuk olahan produk jadi apapun itu masih dipergunakan orang," katanya.
Petani tidak mungkin bisa melakukannya sendiri mulai dari proses pembibitan dan perawatan sampai masa panen juga butuh uang, maka dari itu petani butuh peran pemerintah yang akan sangat membantu.
Dikhatirkan banyak petani maka butuh perhatian lebih dari pemerintah untuk memperhatikan seperti pabrik, petani karet menuju industri semua mati dan kita tinggal menonton saja," keluhnya.