KORANRADAR.ID Indonesia adalah negara produsen kelapa terbesar di dunia, namun performa ekspor kelapa Indonesia justru masih pasang surut. Meskipun dominan dalam produksi, kontribusi Indonesia di pasar kelapa global masih kalah dari negara-negara dengan produksi yang lebih kecil. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa ekspor kelapa Indonesia belum optimal?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kelapa Indonesia dalam bentuk utuh dan olahan menunjukkan fluktuasi tajam dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2020, total nilai ekspor mencapai US$9,27 juta. Angka ini turun menjadi US$7,10 juta pada tahun 2021, kemudian naik menjadi US$10,77 juta di tahun 2022. Namun, dua tahun berikutnya angka tersebut kembali merosot, masing-masing menjadi US$9,38 juta (2023) dan US$7,05 juta (2024).
Fluktuasi Pasar Ekspor Kelapa Indonesia, Terutama ke China
Salah satu pasar penting yang menjadi sorotan adalah China. Pada tahun 2020, ekspor kelapa Indonesia ke China hanya senilai US$35 ribu, kemudian tumbuh hampir empat kali lipat menjadi US$140 ribu pada tahun 2021. Puncaknya terjadi pada tahun 2023 ketika nilai ekspor menembus US$958 ribu. Namun, tren positif ini tidak bertahan; di tahun 2024, nilainya kembali turun signifikan ke US$683 ribu.
BACA JUGA:Banyuasin Kuasai Produksi Kelapa Sumsel, Ini 5 Besar Kabupaten Penghasil Kelapa
Fluktuasi ini menunjukkan belum adanya strategi ekspor kelapa yang konsisten dan terstruktur di Indonesia. Tantangannya bukan hanya dari sisi pasar, tetapi juga dari segi produk, kualitas, dan regulasi yang belum sepenuhnya mengikuti tren permintaan global. Padahal, permintaan dunia terhadap kelapa terus meningkat seiring popularitas gaya hidup sehat, vegan, dan produk alami.
Belajar dari Filipina, Sri Lanka, dan Brazil: Transformasi Produk Kelapa Berdaya Saing Global
Saat Indonesia masih bergantung pada ekspor kelapa utuh atau kopra mentah, negara lain sudah melangkah jauh dengan hilirisasi kelapa.
Filipina misalnya, telah sukses membangun sistem ekspor berbasis produk jadi seperti virgin coconut oil (VCO), santan siap konsumsi, dan tepung kelapa (coconut flour) untuk kebutuhan industri makanan dan kecantikan. Sri Lanka berhasil menembus pasar Eropa dengan produk-produk kelapa organik bersertifikat. Sementara itu, Brazil menjelma menjadi pemain utama air kelapa kemasan di pasar Amerika Serikat.
Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan geografis dan iklim tropis yang ideal. Provinsi seperti Sulawesi Utara, Riau, Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara memiliki luasan lahan kelapa yang sangat besar. Namun, keunggulan produksi ini belum diikuti oleh transformasi hilirisasi kelapa yang optimal. Ekosistem industri pengolahan masih minim, begitu juga dengan sertifikasi mutu yang menjadi kunci dalam ekspor bernilai tinggi.
Tantangan Rantai Pasok dan Perjanjian Dagang: Mengapa Ekspor Kelapa Indonesia Tertinggal?
Filipina telah melibatkan lebih dari 3,5 juta petani dalam sistem rantai pasok yang terhubung dengan eksportir besar. Di Vietnam, lebih dari 600 perusahaan aktif dalam produksi dan pengolahan kelapa, dengan sepertiga produksinya telah mengantongi sertifikasi organik dari Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di sisi lain, Indonesia masih sangat bergantung pada rantai pasok tradisional yang terputus antara petani, koperasi, dan pelaku ekspor.
Tidak adanya perjanjian dagang bilateral khusus juga menjadi penghambat besar. Sebagian besar ekspor kelapa Indonesia masuk melalui skema tarif umum. Berbeda dengan Vietnam yang sudah memiliki kesepakatan tarif rendah dengan China, yang memudahkan produk mereka masuk dengan volume dan margin yang lebih besar. Indonesia masih menghadapi tarif standar, tanpa insentif yang membuatnya lebih kompetitif.
Masa Depan Ekspor Kelapa Indonesia: Pentingnya Sertifikasi dan Diversifikasi Produk