Mengungkap Mitos, Persembahan, Sam Seng, Ciam sie, Klenteng, Benarkah Harus Ada Daging
JAKARTA, KORANRADAR.ID – Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa di klenteng-klenteng sering terlihat aneka persembahan, termasuk yang dikenal sebagai Sam Seng? Tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu, ketika masyarakat datang ke klenteng mencari bantuan para Guru agama untuk berbagai keperluan, mulai dari menanyakan nasib, jodoh, hingga pengobatan penyakit.
Dulu, para Guru ini sering menghilang berbulan-bulan untuk mencari bahan obat di hutan atau pegunungan, seperti ginseng dan jamur. Agar masyarakat yang datang dari jauh tidak kecewa, para Guru menciptakan Ciam Sie sebagai media petunjuk.
Ketika masyarakat merasa tertolong, mereka akan membawa oleh-oleh sebagai tanda terima kasih. Karena Guru tidak ada di tempat, oleh-oleh ini diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang langsung membawa persembahan kepada Dewa. Dari sinilah kemudian muncul kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa.
Kebiasaan ini lantas berkembang menjadi semacam "persaingan" di antara masyarakat, memunculkan tradisi persembahan Sam Seng. Dalam pandangan masyarakat kala itu, Sam Seng yang terdiri dari babi (mewakili hewan darat), ikan (hewan laut), dan ayam (hewan udara), dianggap mewakili tiga jenis hewan di dunia. Tradisi ini pun berlangsung turun-temurun hingga saat ini.
Sam Seng: Tradisi atau Kesalahpahaman?
Namun, pertanyaan besar muncul: Dapatkah persembahan Sam Seng ini dibenarkan dalam konteks agama?
Faktanya, menurut pemahaman yang lebih dalam, Sam Seng sebenarnya tidak digunakan sebagai persembahan kepada Dewa.
Lalu, apa alasannya?
Mari kita renungkan bersama. Inti dari persembahan kepada Dewa adalah ketulusan dan kebersihan. Dewa diyakini tidak membutuhkan persembahan daging. Yang terpenting adalah buah-buahan segar yang melambangkan kemakmuran dan kebaikan.
Cukup dengan buah-buahan segar seperti apel, pir, jeruk, atau anggur. Yang utama adalah buah-buahan tersebut tidak berduri, serasi dipandang mata, dan tentunya dipersembahkan dengan hati yang tulus.
Tradisi memang penting, namun pemahaman yang benar akan esensi ritual juga tak kalah krusial. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada esensi persembahan yang lebih sederhana dan murni.