DR Jan Maringka Nilai Sidang Kasus Tol Betung–Jambi Hanya Formalitas?

DR Jan S Maringka SH -Dokumen -
PALEMBANG, KORANRADAR.ID – Menyikapi putusan hakim PN Kelas 1A Palembang, yang telah memvonis Yudi Herzandi dan Amin Mansur selama 1 tahun 4 bulan dan denda Rp 50 juta atas perkara korupsi pengadaan lahan Jalan Tol Betung–Tempino Jambi dianggap tidak sesuai fakta-fakta dalam proses persidangan.
Hal ini ditegaskan oleh Ketua Tim Hukum Kms H Abdul Halim Ali, DR Jan S Maringka SH MH saat ditemui di Palembang, Jumat 22 Agustus 2025
Ia menjelaskan, pada hari Senin 11 Agustus 2025 lalu, JPU telah menuntut kedua terdakwa dalam tuntutan setebal 284 halaman dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 50 juta. Kemudian pada Kamis 14 Agustus 2025 sidang Pledoi (pembelaan), dilanjutkan abis maghrib replik.
Kemudian, pada Jumat 15 Agustus 2025 pagi duplik, dan abis Jumat di lakukan putusan kepada masing-masing terdakwa 1,4 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
"Proses sidang yang begitu cepat ini, kami rasa hakim tidak memberikan ruang terhadap pledoi secara berimbang. Ini hanya legalitas, ada atau tidaknya pembelaan terdakwa, karena putusan itu sudah disiapkan. Proses sidang ini kami rasa hanya formalitas agar kedua terdakwa terbukti bersalah karena dari tuntutan 2 tahun, vonisnya hanya 1,4 tahun, yakni 2/3 dari tuntutan jaksa, agar kedua belah pihak baik jaksa maupun terdakwa menerima putusan ini dan semakin menunjukkan bahwa sidang ini hanyalah formalitas belaka," katanya.
BACA JUGA:OKU Timur Wujudkan Akuntabilitas Keuangan Cepat dan Akurat
"Jadi putusan ini legalisasi atas kekeliruan yang telah terjadi. Baru kali ini ada perkara dugaan tindak pidana korupsi, tuntutan 2 tahun kemudian divonis 1,4 tahun dan kedua belah pihak menerimanya, jika dinyatakan benar dirasa bersalah, hakim harusnya tidak perlu mengurangi hukuman, atau kalau tidak terbukti, hakim juga jangan ragu untuk memutus bebas pada mereka,"tegasnya.
Lebih jauh mantan Jam Intel Kejagung RI 2017-2020 ini menjelaskan, dalam perkara Amin Mansur dan Yudi Herzandi, baik dalam dakwaan maupun tuntutan jaksa, kliennya Kms H Abdul Halim Ali, disebut seharusnya menerima ganti rugi uang atas pengadaan lahan tol sekitar Rp 14 miliar lebih. Tapi faktanya sampai saat ini kliennya tidak mengajukan apalagi sampai menerima ganti rugi serupiah pun dari negara.
"Dalam posisi ini, jelas klien kami malah memberikan keuntungan bagi negara dalam pembebasan lahan tol. Lahan ini sudah dikuasai Bapak H Halim melalui PT SMB 30 tahun lebih, dan kepemilikan serta legalitas lahan ini jelas," katanya.
Ia melihat kasus ini aneh, korupsi tanpa kerugian keuangan negara didalamnya, dan tuduhan pemalsuan dari surat keterangan yg dibuat sendiri, diketahui kasus ini bermula dari tuduhan pemalsuan administrasi berupa Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (SPPF) atas lahan yang digunakan untuk pembangunan Tol. Panitia Pengadaan Pemerintah menyebut sebagian lahan dan kebun Kms H Abdul Halim Ali adalah tanah negara. Tapi hal itu tak pernah terbukti dalam persidangan.
BACA JUGA:Bank Sumsel Babel Harumkan Nama Daerah, Borong Dua Penghargaan OJK Peduli Award 2025
"SPPF itu bagian prosedur administrasi yang diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2021. Jadi, justru Kms H Abdul Halim Ali mengikuti aturan yang berlaku dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum. Persoalan klaim tanah negara muncul akibat perbedaan peta administrasi BPN dengan kondisi faktual di lapangan. Ini masalah teknis semata dan bukan tindak pidana,"jelasnya.
DR Jan menambahkan, tanah yang disebut bermasalah, yakni NUB 2574 dan NUB 2577 di Desa Simpang Tungkal serta NUB 2316 dan NUB 2317 di Desa Peninggalan, sejatinya berada di dalam areal kebun PT SMB. Bahkan sebagian besar sudah dilepaskan dari kawasan hutan sejak 1993 dan 1996 melalui SK Menteri Kehutanan.
"Jaksa telah keliru mendasarkan dakwaan pada pernyataan BPN semata, karena dalam perkebunan juga ada hak pelepasan dari Kementerian Kehutanan dan Ijin pembibitan dari Kementerian Pertanian," ujarnya.