JAKARTA, KORANRADAR.ID-Su Shi (1036 – 1101), yang juga dikenal sebagai Su Dongpo, merupakan salah satu dari beberapa tokoh dalam sejarah bangsa China yang dikenal sebagai Master di bidang literatur dan seni. Dia adalah seorang penulis besar, pelukis dan seniman kaligrafi. Gaya lukisan kaligrafinya banyak dipengaruhi aliran tulisan tradisional akan tetapi dia juga mengembangkannya menjadi sesuatu gaya yang baru dan orisinil.
Dia bersama dengan Huang Tingjian, Mi Fu dan Cai Xiang dikenal sebagai “Empat Master Kaligrafi Terbesar dari Dinasti Song.” Diluar dari keempat Master itu, dia dianggap yang terbaik. Dia bersama dengan Kakak laki-lakinya Su He dan ayahnya Su Xun, dikenal sebagai penulis terkenal. Ketiganya termasuk dari 8 penulis terbesar dari Dinasti Tang dan Song.
Dia juga sangat piawai dalam membuat puisi. Su He dan Huang Tingjian, juga merupakan pendiri dari Sekolah Puisi Jiangxi, bersama-sama tercatat didalam sejarah sebagai puisi terbaik dieranya. Dia yang menciptakan aliran baru dari Ci (sebuah tipe lirik dalam puisi China). Dia juga seorang pelukis yang luar biasa. Lukisannya tentang burung dan bunga sangat indah, hal ini kemudian menjadi sebuah trend dikalangan penulis untuk mulai belajar melukis. Dia juga sangat tertarik dalam hal memasak, membuat anggur dan menjadi pencicip teh serta menjadi seorang master diberbagai disiplin ilmu.
Suatu hari, dia mengundang beberapa teman baiknya untuk mencoba teh. Setelah 3 putaran, tiba-tiba sebuah inspirasi menghentikan mereka. Dan mereka mulai menulis dan mendeklamasikan sajak mereka untuk menunjukkan keahlian masing-masing. Mereka juga memakai percakapan yang santun.
Salah satu tamunya Si Maguang, dengan bergurau bertanya kepada Su Dongpo,”Teh yang terbaik adalah putih sedangkan tinta yang terbaik adalah hitam. Teh yang terbaik terasa berat sedangkan tinta yang terbaik terasa ringan. Teh seharusnya berbau segar sedangkan tinta semakin tua semakin baik. Mengapa anda mencintai kedua hal yang sama sekali berbeda?”
Su Dongpo menjawab pertanyaan itu tanpa ragu-ragu. Dia meletakkan pena kuasnya, lalu menyeruput tehnya dan menjawab, ”Teh dan tinta yang terbaik keduanya memiliki wewangian, dan itu adalah sifatnya, keduanya adalah kokoh dan itu adalah karakternya. Seperti layaknya orang memiliki warna kulit yang berbeda, dari warna gelap sampai ke warna pucat, ada yang tampan ada yang jelek, tetapi sifat dan tingkah laku mereka adalah sama.”
Su Dongpo juga adalah seorang kultivator Zen dan menentang pembuatan pil-pil kimia untuk memperoleh kehidupan kekal. Meskipun dia cerdik dan humoris, sebagai seorang kultivator beliau sangat serius dan disiplin. Dia pernah berkata, ” Tidak ada seorang pun yang memperoleh pencerahan yang tidak disiplin.”
Banyak sekali cerita yang menarik tentang dia dan teman baiknya Master Zen Foyin. Berikut ini salah satu yang terkenal. Suatu hari, Su Dongpo memperoleh inspirasi dan menulis sajak ini:
Aku menundukkan kepala kepada surga di dalam surga.
Seberkas cahaya menerangi alam raya.
Delapan angin tidak dapat menggerakkanku.
Masih tetap duduk diatas lotus nila emas.
“Delapan angin” di dalam puisi itu menunjuk kepada pujian, ejekan, kehormatan, nama buruk, perolehan, kehilangan, kesenangan dan penderitaan merupakan kekuatan kepentingan pribadi terhadap dunia materi yang mengendalikan dan mempengaruhi hati manusia. Su Dongpo mengatakan bahwa beliau telah memperoleh pencerahan, dimana kekuatan ini tidak bisa lagi mempengaruhinya.
Terkesan akan dirinya sendiri, Su Dongpo mengirimkan seorang pelayan untuk membawa puisi ini kepada Foyin. Dia merasa pasti kalau temannya akan terkesan. Saat Foyin membaca puisi itu, Master Zen itu menulis “kentut” diatas puisinya dan dikirim kembali kepada Su Dongpo. Su Dongpo sangat terkejut ketika membaca apa yang ditulis Master Zen itu. Dia merasa sangat jengkel, ”Bagaimana mungkin dia menghinaku seperti ini? Ada apa dengan biksu tua jelek itu! Dia harus menjelaskannya padaku!”
Dengan penuh kejengkelan, Su Dongpo menyewa sebuah kapal untuk mengantarkannya keseberang secepat mungkin. Sesampainya disana, dia lalu melompat dan menerobos masuk kedalam kuil. Dia ingin bertemu Foyin dan menuntut permintaan maafnya. Dia menemukan pintu Foyin tertutup. Dipintu tertempel secarik kertas yang bertuliskan dua baris kalimat:
Delapan angin tidak dapat menggerakkanku.
Satu kentutan meniupku sampai ke seberang sungai.
Su Dongpo langsung tertegun melihatnya. Foyin telah mengantisipasi kedatangan si kepala panas ini. Kemarahan Su Dongpo seketika lenyap dan dia mengerti maksud dari temannya. Jika dia benar-benar seorang spiritual murni, sepenuhnya tidak akan tergerak oleh delapan angin itu, lalu bagaimana dia dapat dengan mudah terhasut? Malu tetapi dengan bijak Su Dongpo meninggalkan tempat itu. Kita tidak mengetahui sampai tingkat mana Su Dongpo akhirnya menyelesaikan kultivasinya. Akan tetapi kita dapat membayangkan bahwa diakhir episode itu, dia telah memperoleh kemajuan dalam kultivasinya dan memperbaiki xinxing-nya (watak, kualitas moral).
Su Dongpo telah menyumbangkan banyak hal. Kehidupannya kaya dan penuh warna. Disalah satu sisi dia sangat kharismatik, terus terang dan berpandangan luas. Selain itu, dia juga menginginkan menjadi polos dan terus terang seperti seorang anak kecil. Lebih dari seribu tahun, warisan dari keahliannya tetap hidup dan mengagumkan orang dari abad ke abad seperti Puisi Su, Esai Su, Kaligrafi Su, Lirik Su, Lukisan Su juga sama terkenalnya dengan resep masakan Ikan Dongpo dan Babi Dongpo.