Sawit dan Indonesia Emas 2045

Sumarjono Saragih, Chairman Founder Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil (WISPO), Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatera Selatan--

Indonesia Emas 2045

Dibutuhkan kacamata yang beda untuk melihat sawit. Karena tidak ada kesempatan bicara saat acara bincang tersebut, penulis mencoba sampaikan melalui tulisan ini dengan tema provokatif: No Sawit, No Indonesia Emas 2045. Melihat sawit and beyond diperlukan dalam mengurus dan membuat kebijakan yang multidimensi.

Supaya sawit tidak egois dan menjadi solusi holistik, penulis mengusulkan pembentukan ”Kementerian Perkebunan” dengan otoritas, organisasi, dan kepemimpinan memadai. Mengurus khusus perkebunan, tetapi tidak hanya sawit sebagaimana usulan para timses. Karena ada ragam komoditas perkebunan lain yang sedang menanti penyelamatan.

Sawit bisa berperan sebagai komoditas sulung dan menjadi teladan komoditas adiknya. Banyak komoditas lain tidak seberuntung sawit. Karet yang mayoritas (84 persen) dimiliki petani sudah meradang 10-15 tahun terakhir. Petani karet mengeluh harga rendah, produksi turun, penyakit gugur daun, tata niaga buruk, pupuk mahal dan langka. Nyaris tidak ada solusi nyata. Pabrik pun kekurangan bahan baku.

”Sebanyak 5.000 anggota saya sudah PHK (diberhentikan) akibat lima pabrik karet di Sungai Musi tutup dan tiga pabrik melakukan efisiensi karena tidak ada bahan baku,” ungkap Abdullah Anang, Ketua Serikat Buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumsel, menjawab pertanyaan penulis.

Jawaban senada dari kolega saya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jambi, ”Ada dua pabrik tutup karena kekurangan bahan baku.”

Nasib kakao juga tidak beda jauh. ”Produksi merosot drastis. Hanya mampu memenuhi setengah dari kapasitas pabrik yang ada,” ujar praktisi industri kakao, Ainu Rofiq.

Penulis sengaja mengumpulkan fakta perkebunan terkini sebelum hadir di acara bincang Kompas. Dengan harapan bahan elaborasi dan sumbangsih kepada para timses. Sedihnya, paparan para timses tidak ada yang melihat perkebunan secara lebih luas (di luar sawit). Sangat wajar, debat cawapres juga tidak menyentuh sawit dan perkebunan.

BACA JUGA:Apindo Sumsel Soroti Soal Kenaikan UMP 2024

Dengan argumentasi apa pun, perkebunan (sawit) sudah waktunya diurus dengan visi, misi, dan strategi melalui sebuah lembaga kementerian dengan otoritas cukup. Dari sisi manusia, yang terlibat sudah setara dengan sebuah negara. Orang sawit saja sudah hampir 50 juta (16 juta pekerja dan satu istri anak). Setara dengan Korea Selatan. Belum termasuk petani karet, kakao, dan lainnya.

Sumbangan devisa ekspor sawit terbesar 39 miliar dollar AS (2022). Sebagai pembanding sederhana: sektor pariwisata disebut melibatkan 13 juta pekerja dan ”hanya” pernah menyumbang devisa 16 miliar dollar AS (sebelum pandemi Covid-19). Namun, pariwisata sudah diurus seorang menteri sejak lama. Jadi, kenapa timses masih ragu dan terkesan tak pede (percaya diri)?

Pada saat yang bersamaan, organisasi dan perusahaan perkebunan sawit bisa menjadi ”teman kolaboratif” pemerintah dalam mempromosikan decent work dan tujuan SDGs di perdesaan. Secara organisasi, jaringan perusahaan sawit mungkin setara dengan organisasi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Menjangkau pelosok desa. Sawit ada di ribuan desa sawit di 160 kabupaten.

Perdesaan yang digadang-gadang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru tentu harus berkualitas. Perdesaan juga menjadi pusat sistem pangan (food security system). Pembangunan perdesaan juga harus memenuhi keberlanjutan sesuai indikator SDGs. Mampu menahan urbanisasi. Perdesaan yang layak anak, ramah perempuan, pekerjaan yang menyejahterakan dan berkelanjutan. Ada perlindungan sosial dan aman dari risiko (K3).

Korporasi sawit memiliki praktik baik dari semua indikator dan tujuan SDGs. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia sudah melakukan dua inisiatif penting berupa panduan dan kompilasi praktik baik ”Sawit Ramah Perempuan dan Anak”. Ini siap untuk dibagikan, dipromosikan, dan diimplementasikan.

Inisiatif dan aksi yang lebih luas tentu membutuhkan otoritas pemerintah melalui regulasi, kolaborasi. Terlebih lagi dalam era otonomi, inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah menjadi sangat penting. Terlebih porsi pekerja informal di sawit cukup besar. Tidak kurang dari 42 persen sawit nasional dimiliki petani yang serba informal. Di sinilah peran usulan lembaga kementerian yang dimaksud sebagai regulator, inisiator, dan kolaborator.

Tag
Share