K3 dan Paradoks Indonesia

Sumarjono Saragih ketua apindo Sumsel--

K3 dan Paradoks Indonesia

 

 

KORANRADAR.ID  Motivasi terbesar Prabowo Subianto ngotot menjadi Presiden adalah menjawab paradoks Indonesia. Empat kali kalah dalam perebutan kursi presiden tak menyurutkan niatnya. Dia punya resep dan yakin akan mampu mengobati sejumlah penyakit bangsanya. Sekaligus mewujudkan Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat.

.

Indonesia memang sarat paradoks. Itulah narasi besar dalam buku yang ditulis Prabowo Subianto tahun 2022. Judulnya "Paradoks Indonesia dan Solusinya". Negara kaya tapi banyak rakyat miskin. Disebut memiliki kekayaan sumber daya alam nomor 11 terbesar di dunia. Tapi kekayaan dikuasai hanya segelintir orang. Di sisi lain, negara punya hutang besar. Bahkan jurang si kaya dan si miskin makin dalam walau sudah 80 tahun merdeka. “Hanya 1% orang Indonesia menikmati kemerdekaan” tulis Prabowo (hal. 92).

 

Pew Research Centre menempatkan Indonesia paling religius nomor 1 dari 102 negara. Ironisnya, tahun 2024 Transparancy International melaporkan persepsi korupsi peringkat 110 dari 180 dengan nilai 34. Bandingkan dengan peringkat satu, Denmark nilai 90. Dan banyak lagi contoh paradoks lainya. 

.

Aspek K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) juga salah satu paradoks. Operasi tangkap tangan (OTT) adalah adalah puncak gunung masalah K3. Yang tertangkap adalah wakil menteri Immanuel Ebenezer dan sejumlah pejabat lain.

Sebelumnya, bulan Januari 2025, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumatera Selatan, Deliar Marzoeki juga kena OTT oleh Kejari Palembang. Kasusnya sama, K3. Mengapa K3 jadi ajang korupsi?

.

K3 diatur dalam UU No 1 Tahun 1970. Diikuti sejumlah aturan di bawahnya. K3 bukan semata tentang sistim manajemen, sertifikasi dan kepatuhan hukum normatif. Bukan pula sebatas untuk produktifitas.

K3 juga tentang nasib dan nyawa pekerja. Tentang kehidupan dan harkat pekerja selama minimal delapan jam waktu terbaik dalam hidupnya. Tempat kerja adalah waktu produktif yang harus dijamin selamat dan sehat. Dalam UUD 1945 pasal 28 (d) disebut setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Jadi kerja layak adalah bahasa publiknya.

.

Pekerjaan yang layak juga agenda global. ILO (International Labour Organisation) menyebutkan ada 5 pilar kerja layak. Merupakan fundamental principles and rights at work. K3 adalah hak dasar di tempat kerja. Lingkungan kerja yang aman dan sehat adalah satu dari lima pilar itu. Dalam SDGs (Sustainable Develoment Goals) No 8 disebut Kerja Layak (Decent Work). Jadi K3 syarat terpenuhinya decent work.

.

Kerja layak juga sudah menjadi bagian perjanjian dagang. Trade, Investment dan Decent Work menjadi pasal dalam perjanjian dagang modern seperti CEPA (Comprehensive Economic Partnership). Sayangnya, K3 belum menjadi budaya kerja kita. "Implementasi sistim manajemen K3 masih cenderung administratif. Budaya keselamatan Just Culture, Reporting Culture, Learning Culture jarang diinternalisasi secara mendalam” ujar Menteri Ketengakerjaan Yassierli (Kompas.id Pebruari 2025).

 .

Persoalan K3 bukan hanya urusan dunia bisnis. Lingkungan kerja pemerintahan tak terkecuali. Bahkan sebagai regulator, pemerintah yang harusnya garda penjaga. Namun justru turut memperburuk situasi. Proses sertifikasi dan perizinan K3 dibuat jadi lorong gelap. Jadi ladang negosiasi, transaksi dan korupsi. Puncak persoalan yang bisa dibaca publik adalah ditangkapnya wakil menteri ketenagakerjaan dan jaringannya.

.

Data kecelakaan bukti lain paradoks K3. Angka kecelakaan terus meningkat. Tahun 2022, BPJS Ketenagakerjaan mencatat klaim sejumlah 298 ribu lebih. Meningkat menjadi 462 ribu lebih kasus di 2024. Dimensi K3 tentu bukan sebatas tidak celaka dan tidak sakit. Harus pula diikuti dengan jaminan sosial ketenagakerjaan. Namun faktanya jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan masih rendah. Baru 35 juta dari 110 juta angkatan kerja. Itupun mayoritas pekerja formal. Pekerja informal nyaris belum terjangkau. Regulasi komprehensif untuk melindungi pekerja informal pun belum ada.

 Solusi Paradoks K3

Tantang K3 sudah berobah. Seiring perobahan jaman, teknologi, model bisnis, jenis bahaya dan dampak perobahan iklim. Ini membutuhkan regulasi yang responsif dan adaptif. UU No 1 tahun 1970 sudah ketinggalan. Salah satu yang absurd adalah denda hanya Rp 100 ribu bagi yang melanggar K3. Jadi regulasi baru harus holistik. Menjangkau pekerja informal. Pekerja mandiri. Pekerja bukan penerima upah. Mereka juga punya hak dasar yang sama di tempat kerja. Harus pula mencakup semua sektor. Sektor rentan akibat perobahan iklim harus jadi prioritas. Seperti sektor pertanian, perkebunan dan maritim. Juga menjangkau kelompok UMKM mikro dan ultra mikro yang mendominasi tempat kerja di Indonesia. Tercatat 97% bekerja di UMKM.

Upaya transformatif pemerintah sangat menentukan. Dari membuat regulasi adaptif dan penegakan hukum yang berwibawa. Reformasi sisitim dan proses sertifikasi K3 harus dilakukan. Ini biang OTT KPK di Kemenaker dan Disnaker Sumsel. Biaya 6 juta rupiah untuk perolehan sertifikat K3 mahal karena adanya biaya siluman. Bisa diturunkan drastis. Apalagi ada model proses sertifikasi kolektif antara kelompok industri dengan Kemenaker. “Bisa dihemat hingga 40% - 50% dari yang ada sekarang bila semua transparan” ujar seorang pimpinan PJK3 (Penyelenggara Jasa K3) di Palembang ketika saya tanya jumlah biaya aktual (pelatihan dan kewajiban resmi). Wajar -sesuai temuan KPK- proses sertifikasi K3 jadi ajang korupsi yang besar.

Menjadikan K3 sebagai budaya membutuhkan gerakan sosial. Memberdayakan sumberdaya di masyarakat sebagaimana disebut Resource Mobilisation Theory. Dewan K3 Provinsi (DK3P) yang diatur dalam Permenaker No 18 Tahun 2016 bisa dioptimalisasi. Sejauh ini tugasnya terbatas memberi saran ke kepala daerah. Tapi peran itu pun tidak berjalan. Sulit menemukan DK3P yang berfungsi baik. “DK3P Sumsel sudah mati suri selama 15 tahun” ujar Prof Tan Malaka dalam Sarasehan K3, Kamis 8 Mei 2025 di Palembang (palpos.disway.id). Tak heran, kepala dinas ketenagakerjaannya pun terjerat dengan kasus K3.

DK3P adalah wadah multipihak. Ada unsur tripartit (pemerintah, pemberi kerja dan pekerja). Juga ada praktisi, akademisi dan unsur ahli serta komunitas penyelenggara sertifikasi. Untuk bisa menjalankan peran gerakan sosial, perlu revisi aturan.

Selain itu, budaya K3 di tempat kerja juga harus jadi gerakan bipartit. Serikat pekerja dan manajemen harus membangun social dialogue yang sehat sehingga K3 menjadi kebutuhan bersama. Pekerja sadar dan paham akan haknya. Manajemen mengerti dan memenuhi hak dasar itu. Jadi menjadi bagian integral proses bisnis. “Perilaku manusia menentukan tingkat kecelakaan kerja” tulis Budi W Soetjipto (Kompas.id, April 2023). Membangun satu budaya K3, selain komitmen manajeman, proses bisnis dan kerja juga perilaku manusia di tempat kerja.

K3 bukan hanya untuk pribadi pekerja seorang. Tapi juga untuk kepentingan rekan kerja. Keberlangsungan usaha dan menjadikan tempat kerja bersama yang memberi penghidupan yang layak. Bila semua tempat kerja melakukan hal yang sama, maka tercipta Total Safety for All. Budaya K3 menjadi bagian irama kehidupan masyarakat. Tidak berlebihan menuntaskan persoalan K3 juga menjawab solusi paradoks Indonesia. Sekaligus mewujudkan impian Indonesia Emas 2025. Selamat bekerja Presiden Prabowo.//

Sumarjono Saragih

Ketua APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Sumatera Selatan

Chairman Founder WISPO (Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan