JAKARTA, KORAN RADAR. ID – Target produksi minyak sawit (CPO) nasional yang diproyeksikan pemerintah Indonesia sebesar 92 juta ton pada 2045 diperkirakan akan menemui ganjalan serius.
Penyebabnya setidaknya ada dua faktor yaitu tanaman usia sawit yang tua dan moratorium sawit. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Hadi Sugeng mengatakan apabila tantangan tersebut tidak segera diatasi Indonesia akan menjadi pengimpor CPO di 2029.
“Data Sucofindo apabila dipertahankan ekspor, di angka 30-32 juta ton [per tahun], dengan produksi hanya 59 juta ton di 2025 kita akan minus sampai 2029. Jadi kalau kita memproyeksikan ekspornya di antara 30 juta-32 juta kita akan minus. Artinya kita akan impor CPO,” ujar Hadi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Hadi mengungkapkan kemungkinan Indonesia jadi pengimpor sawit cukup besar mengingat di lima tahun terakhir perkembangan konsumsi nasional selalu meningkat. Tetapi kenaikan konsumsi ini tidak dibarengi pertumbuhan produktivitas.
Konsumsi terus bergerak naik pada tahun 2019 sebesar32,3% dari produksi, sampai dengan Februari 2024 sebesar 42,8% dari produksi. Begitupun penggunaan biodiesel tahun 2023 sudah melebihi penggunaan untuk pangan. Persentase konsumsi dalam negeri terhadap produksi cenderung naik.
“Ini fenomena menarik yang harus kita kaji dan pecahkan bersama,” imbuhnya.
Tantangan dihadapi Indonesia adalah melemahnya produktivitas sawit semenjak 2010. Sebagai perbandingan, yield CPO tahun 2010 mencapai 4,3 ton per ha per tahun. Tetapi terjadi penurunan hingga 3,3 ton per ha per tahun.
Stagnasi produksi dan produktivitas sawit ini disebabkan dua faktor yaitu Komposisi umur tanaman 40% kategori tua (6,57 jt Ha) dan moratorium kebun sawit.
Saat ini, ujar Hadi, produktivitas sawit yang menurun tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di Malaysia juga mengalami tren penurunan karena usia tanaman yang sudah tua akibat keterlambatan peremajaan sawit rakyat.
“Penurunan produksi turun, karena 40 persen tanaman kita 6,57 juta usia tua maka harus replanting,” ujarnya.
Menurut Hadi, penurunan produksi juga juga terkait adanya moratorium sawit yang sudah ditetapkan pemerintah sehingga tidak bisa menambah luasan lahan sawit.
Lebih lanjut, saat ini GAPKI telah melakukan beberapa skenario agar CPO Indonesia bisa terdongkrak. Pertama, dilakukannya PSR untuk petani 150 ribu ha ditambah perusahaan besar 300 ribu ha atau 500 ribu ha per tahun.
“Kalau kita meremajakan sampai sampai 2045, untuk pola 150 ribu ha, perusahaan 300 ribu ha, maka produksi 2045 bisa 65 juta ton, naik 10 persen dibanding saat ini. Kalau program ini lebih agresif, misalnya petani 150 ribu ha dan perusahaan besar 500 ribu ha, akan bertambah 64,7 juta ton. Kendati demikian masih jauh dari target 92 juta ton,” tuturnya.
Hadi pun berharap agar pemerintah merevisi pemberlakuan moratorium sawit. Setidaknya dibutuhkan tambahan 4,5 juta ha lahan terdegradasi untuk memecahkan masalah produksi ini.
“Nantinya dari sekarang 16,8 juta ha buat lagi 4,5 juta ha. Dari lahan-lahan yang terdegradasi untuk menutup produksi, maka 92 juta tercapai, konsumsi akan tercapai. Dan ekspor kita 42 juta ton. Volume ekspor penting agar membiayai yang lain [BPDPKS]. Kekuatan ekspor ini hampir 50 persen ini,” tandasnya.