Tapi ada juga pendukung Gibran saat Pilkada Solo yang tidak lagi bersimpati terhadap mantan pengusaha pisang goreng tersebut.
Joni Wahyudi mengaku Gibran sudah tidak lagi setia dengan partai yang membesarkannya.
“Ya intinya, pertama kecewa karena tidak tegak lurus dengan PDIP. Dan kedua tidak konsekuen dengan omongannya, yakni mengingkari PDIP,” kata Joni.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto menilai telah terjadi perpecahan suara di Jawa Tengah setelah Gibran resmi bakal cawapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Dengan adanya Gibran menjadi cawapres, konstelasi masyarakat terbelah menjadi dua.
"Ada sebagian ke Gibran dan sebagian ke Ganjar. Ada kemungkinan suara Ganjar terebut oleh Gibran,"ujarnya.
Dalam satu kesempatan, Gibran mempersilahkan masyarakat menilai sendiri terkait dengan tuduhan dinasti politik dalam prosesnya melaju ke bakal cawapres.
“Saya kembalikan lagi warga untuk menilai,” kata Gibran singkat.
Suara dari kantong terbesar Prabowo
Efek mengangkat Gibran menjadi pasangan Prabowo mempengaruhi penilaian Pepa, warga Jawa Barat. Ia merupakan pendukung dan pemilih Prabowo saat Pilpres 2019 lalu.
Jawa Barat diketahui sebagai kantong terbesar suara Prabowo pada 2019 dengan 16 juta suara atau 59,9% dari total suara di provinsi ini.
“Dia [Gibran] itu kan masih baru, istilahnya baru meletek gitu ya,” kata Pepa.
Ditambah lagi, ia juga melihat putusan MK sengaja dirancang untuk meloloskan Gibran, sehingga ia mengatakan “bye (selamat tinggal)" terhadap pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres mendatang.
Padahal, sebelumnya Pepa mengaku masih bisa memaklumi ketika Prabowo merapat ke kubu Jokowi dan diangkat sebagai menteri pertahanan.
“Namanya sudah masuk ke pemerintahan, ya berarti kan harus sejalan sama pemerintah.
Ya okelah rada dimaklumi. Kalau sekarang ini, aduh kenapa sih milihnya itu [Gibran] gitu. Kayak nggak ada yang lain,” katanya.