PALEMBANG, KORANRADAR.ID - LAOZI, pendiri Taoisme, memiliki guru masa kecil bernama Chang Cong, yang secara hati-hati mengajarinya etika Dinasti Zhou yang rumit.
Namun, bagi Laozi muda, aturan-aturan asing itu membuat hidup terasa melelahkan dan sulit bagi orang-orang.
Pada saat Laozi tumbuh dewasa, Chang Cong sudah sangat tua. Laozi mengunjungi gurunya ketika sang guru sakit keras dan hampir mati.
Chang Cong menunjuk ke mulutnya yang terbuka dan bertanya kepada muridnya, “Apakah lidahku masih ada di sana?”
Laozi menganggap pertanyaan itu aneh dan menjawab, “Jika lidahmu tidak ada di sana, bagaimana kamu dapat bicara?”
BACA JUGA:Kelenteng Thien Ong Keng Rayakan Hut Dewa Nacha
BACA JUGA:Hadirkan Suhu Ellen dari Kalimantan dan Suhu Owen dari Jambi
“Di mana gigiku?” Chang Cong lanjut bertanya.
Ketika Laozi mengatakan kepada Chang Cong nya bahwa ia tidak memiliki gigi yang tersisa, Chang Cong menjawab dengan bertanya, “Apakah kamu tahu mengapa aku menanyakan hal ini kepadamu?”
Laozi tiba-tiba mengerti. Gurunya ingin ia mengenali bahwa gigi itu kuat dan keras, namun mudah patah, sedangkan lidahnya lunak dan kenyal tetapi jauh lebih tahan lama.
Laozi menyadari bahwa ini adalah prinsip yang diterapkan dalam setiap hubungan manusia atau urusan duniawi, di mana orang yang bijaksana akan menjaga kelembutan.
BACA JUGA:Kelenteng Marga Theng Palembang Gelar Baksos Bagikan 7 Ton Beras
BACA JUGA:Kelenteng Marga Tan Palembang Rayakan Hut Dewa Ciu Hu Tualang
Menjadi lembut berarti bersikap tenang, diam dan damai. Laozi mengacu pada kelembutan dengan penampilan lemah tetapi memiliki esensi batin yang kuat dan yang memungkinkan seseorang menjadi baik hati, murah hati, dan pemaaf.
Dalam bukunya berjudul “Tao Te Ching” (juga dikenal sebagai “Dao De Jing”, Kitab Kebajikan Tao)), Laozi menulis: “Di bawah langit, tidak ada yang lebih lembut dan lebih menghasilkan daripada air. Namun untuk menyerang yang kuat, tidak ada yang lebih baik; itu tidak ada bandingannya.”