Dewa Dewi – Pantheon Tiongkok
--
PALEMBANG, KORANRADAR.ID - bicara dewa-dewi Tiongkok atau juga kepercayaan masyarakat, kebanyakan di antara kita pernah mendengar tapi belum tentu mengenal. Seringkali kita melihat prosesi gotong Toapekong, orang yang sujud berdoa, bertanya dengan ciamsie dan lain-lain.
Pemandangan ini dapat kita lihat di kelenteng-kelenteng. Pada kenyataannya, semua yang kita lihat itu hanya permukaan dari kepercayaan orang Tiongkok. Permukaan itu mengandung pemahaman yang luas dan berisi makna filosofis yang mendalam.
Makna dan pemahaman tersebut tidak dapat kita lihat atau pahami seperti kita hanya melihat patung-patung atau prosesinya.Ketika kita melihat seorang nenek tua yang dengan sujud bersembayang, pasti ada banyak orang yang beranggapan bahwa nenek tua itu percaya tahayul, menyembah iblis, tidak berpendidikan, kuno dan sebagainya.
Tapi seandainya kita merenungkan lebih mendalam, nenek tua yang bersujud dengan khidmat tentu karena keyakinan yang timbul dari hatinya sendiri dan ada pengharapan serta keyakinan yang teguh dan kuat. Tidak perduli keyakinan dan pengharapan itu bersifat psikologis atau tidak, bagi saya nenek tua itu sedang mencari ketenangan dan rasa aman dari dewa-dewi Tiongkok yang ia yakini.
Saya tidak memiliki hak untuk menghakimi bahwa yang disembahnya iblis. Nenek itu penyembah berhala, penganut tahayulisme, orang bodoh maupun pandangan negatif lainnya.
Perlu kita sadari bahwa manusia dalam hidupnya selalu mencari pengharapan, perlindungan, ketenangan. Masing-masing manusia mendapatkan hal-hal di atas dengan cara berbeda satu dengan yang lainnya. Perlu kita ketahui bahwa dewa-dewi Tiongkok itu berasal dari rakyat Tiongkok dan melewati batasan-batasan agama atau kepercayaan yang ada.
Telah menjadi suatu bentuk kebudayaan serta dasar filosofi yang mendalam. Dalam sejarah perkembangannya, pemikiran-pemikiran filosofis dari Konfusiusme dan Taoisme itu terbagi menjadi dua.
Satu bersifat pragmatis. Ini dapat kita lihat dalam kehidupan rakyat kebanyakan. Sedangkan satunya bersifat scholar yang hanya di kalangan kelas atas dan berpendidikan tinggi serta memiliki wawasan luas. Yang bersifat pragmatis itulah menyerap dewa-dewi rakyat.
Dalam memandang masalah dewa-dewi ini diperlukan suatu bentuk toleransi besar sehingga cara memandang kita akan menjadi berbeda. Selain itu, kita bisa hayati betapa dalam makna filosofis yang terkandung di dalamnya serta betapa berharga kepercayaan masyarakat itu.
Satu keunikan dewa dewi Tiongkok itu adalah tidak memiliki batasan yang jelas dan menyerap semua komponen Tridharma. Jadi, tidaklah heran jika kita melihat ada orang yang bersembayang kepada Buddha Gautama dan setelah itu sembahyang kepada Tudigong.
Ada yang sembahyang kepada Taishang Laojun kemudian diikuti dengan sembayang kepada Guanyin Pusa. Dengan santainya menghormati Konfusius kemudian dilanjutkan dengan penghormatan kepada “dewa-dewa” lokal seperti Eyang Suryakencana, Prabu Siliwangi, Mbah Banten dan lain-lain.
Secara garis besar dewa-dewa Tiongkok dapat dipilah menjadi empat bagian:
Dewa mitos atau legenda seperti misalnya Sun Wukong, Yvhuang Dadi. Tokoh-tokoh masyarakat yang pernah hidup dan berjasa bagi bangsa dan negara. Baik berskala lokal maupun berskala luas. Dalam hal ini missal Yus Fei dan Guan Yunzhang yang berskala luas. Sanshan Guowang yang berskala kedaerahan. Adalagi yang bersifat marga seperti Xie An.
Dewa-dewi kosmologi misalnya Sanqing (Yuanshi, Lingbao, Daode); Jiutian Yingyuan Leisheng Puhua Tianzun; dewa-dewi perbintangan, etc. Dewa-dewi adopsi: Zhongtan Yuanshuai, Doumu / Molizitian, dll., cs.