Apa yang Terjadi Jika Dolar Tembus ke Rp 17.000?
Ilustrasi perbandingan dalar US dan rupiah--
JAKARTA, KORANRADAR.ID - Ekonom senior yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengingatkan pemerintah dan otoritas moneter untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level Rp 16.500/US$.
Dia mengatakan, bila level psikologis itu tertembus dari saat ini di kisaran atas Rp 16.400/US$ akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan dari yang sudah bermunculan saat ini, sehingga sulit dijinakkan dan berpotensi merosot sampai Rp 17.000/US$.
"Jadi, kalau ditanya sampai berapa ya Probability ke Rp 17.000/US$ sih ada ya. Nanti habis 17.000 mungkin ada equilibrium baru," kata Telisa dikutip Senin (24/6/2024).
Telisa mengatakan, level rupiah saat ini yang terus bergerak ke atas Rp 16.400/US$ juga sebetulnya merupakan hasil dari akumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan. Mulai dari akibat penurunan peringkat saham RI oleh Morgan Stanley, heboh protes skema Full Periodic Call Auction (FCA) di bursa efek, hingga laporan media asing soal potensi pelebaran defisit atau rasio utang APBN 2025.
"Itu fatal banget, narasi itu fatal. Karena dari berbagai lembaga rating ingetin Indonesia itu fiskal enggak boleh terlalu tinggi, karena kita enggak sama dengan negara maju yang tax rationya tinggi. mereka 50% dari PDB tapi tax rasio udah tinggi," tegas Telisa.
Selain itu, ada sentimen negatif juga yang menyoroti secara khusus potensi balik kembali defisit neraca perdagangan Indonesia yang saat ini trennya masih surplus. Terutama karena tren commodity boom telah berakhir, tercermin juga dari merosotnya penerimaan pajak yang mulai loyo akibat masalah normalisasi harga-harga komoditas.
"Nah, jadi makanya kekhawatiran investornya terus terjadi. Makanya rupiah jadi overshoot ke 16.500, terus dengan juga ditambah The Fed masih belum pasti (menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate)," ujar Telisa.
Ia menegaskan, pelemahan rupiah itu tentu harus segera diantisipasi pemerintah dan Bank Indonesia (BI), sebab jika tembus Rp 17.000/US$ kerugian ekonominya akan lebih besar dihadapi masyarakat Indonesia, meski tak sampai menyebabkan krisis moneter sebagaimana saat 1997-1998.
"Dulu kan overshootnya dari Rp 5.000 ke Rp 17.000, kalau sekarang kan dari Rp 14.000 lah ke Rp 17.000, jadi belum krisis. Krisis itu mungkin kalau Rp 20.000 lah udah itu baru," tegasnya.
Adapun risiko yang akan dihadapi ekonomi Indonesia bila rupiah ke level Rp 17.000 menurut Telisa, yakni inflasi tahun ini akan naik menyebabkan daya beli masyarakat semakin melemah. Ujungnya ialah pertumbuhan ekonomi tak akan sampai pada target pemerintah di level 5,2%.
"Suku bunga kita mungkin naik, pertumbuhan kredit akan melambat. Tapi kita terbantu sedikit dari ekspor dan pariwisata biasanya kedua itu akan naik kalau depresiasi. Tapi manufaktur yang terpuruk yang bahan bakunya impor, jadi ada sektor yang hold ada yang gain, tapi overall kan negatif ya pelemahan rupiah yang terlalu dalam, jadi kita masih punya kekuatan sampai Rp 17.000," ucap Telisa.
Sementara itu, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menanggap pelemahan rupiah yang dari sisi domestik dipicu pemberitaan dari salah satu kantor berita asing terkait kenaikan rasio utang memang sifatnya sementara.
Walaupun, sorotan pelaku pasar keuangan memang sudah lama tertuju pada kebijakan belanja pemerintah ke depannya, yang dikhawatirkan cenderung lebih ekspansif pada masa pemerintahan mendatang sehingga defisit cenderung meningkat tajam. Kekhawatiran ini juga terefleksi dari kenaikan yield obligasi 10 tahun sebesar 21 bps ke level 7,13%.
"Mempertimbangkan bahwa perkembangan di pasar keuangan domestik saat ini dipengaruhi oleh faktor sentimen dari pasar keuangan global, oleh sebab itu tekanan pada nilai tukar rupiah dan pasar keuangan domestik diperkirakan akan cenderung sementara," ujar Josua.
Untuk mengantisipasi masalah itu, dia pun menyarankan solusi yang harus dilakukan pemerintah dan BI untuk menjaga stabilitas rupiah ke depan dan mampu kembali menguat. Untuk jangka pendek dari depresiasi rupiah adalah dengan BI terus melakukan intervensi di pasar valas.
Jangka menengah, BI perlu menggalakkan lagi kebijakan DHE dan terus melakukan pendalaman pasar keuangan Indonesia. Jangka panjangnya, diversifikasi ekspor agar tidak dominan komoditas yang harganya cenderung berfluktuasi, diversifikasi tujuan ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar beberapa negara saja, serta diversifikasi impor agar kebutuhan input impor menurun.
"Juga meningkatkan peran industri pariwisata sebagai sumber penerimaan valas, dan terus meningkatkan FDI (foreign direct investment) akan ketergantungan pada 'hot money' atau investasi portofolio asing menurun," ungkap Josua. (CNBC Indonesia)