Merit System hingga Restorative Justice, Wajah Baru Reformasi Kejaksaan RI

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Dr. Ketut Sumedana--

PALEMBANG, KORANRADAR.ID – Kejaksaan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin terus menunjukkan wajah baru lembaga penegak hukum yang tidak hanya tegas, tetapi juga humanis dan dekat dengan kebutuhan masyarakat. Reformasi dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pembenahan kelembagaan, penataan sumber daya manusia (SDM), hingga pola penanganan perkara di seluruh Indonesia.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Dr. Ketut Sumedana, mengungkapkan bahwa penguatan kelembagaan Kejaksaan RI dimulai dari penataan SDM yang dilakukan secara ketat dan terukur. Penerapan merit system menjadi fondasi utama dalam proses pengisian jabatan.

“Penguatan kelembagaan dimulai dengan penataan SDM. Dibangun merit system yang sangat ketat, mulai dari assessment sampai pada penempatan yang harus melalui tahapan dan pendidikan yang selektif,” ujar Ketut, Rabu (19/11/2025).

Tidak hanya itu, Ketut menegaskan penerapan sistem reward and punishment di lingkungan Kejaksaan kini dijalankan dengan tegas dan konsisten. Jaksa yang terbukti melanggar kode etik ataupun melakukan tindak pidana tidak segan-segan diberhentikan bahkan diproses secara hukum.

“Penerapan reward dan punishment juga sangat tegas dilaksanakan sehingga tidak sedikit jaksa dipecat sampai dipidanakan. Pengembangan kelembagaan terus diupayakan, terutama terkait dengan tugas dan fungsi pokok Kejaksaan,” tegasnya.

Menurut Ketut, evaluasi kinerja kini menjadi instrumen penting dalam penilaian pimpinan satuan kerja (Satker). Jaksa Agung tidak ingin ada kesenjangan penanganan perkara antara pusat dan daerah.

“Jaksa Agung tidak ingin ada kesenjangan dalam penanganan kasus antara pusat dan daerah. Jangan sampai daerah melempem, sementara yang kelihatan kerja hanya pusat. Ini yang selalu diperhatikan,” imbuhnya.

Salah satu wujud konkret reformasi Kejaksaan adalah penguatan penegakan hukum yang humanis. Untuk perkara-perkara kecil yang dinilai tidak berdampak luas, Kejaksaan mengupayakan agar tidak semuanya berujung di meja hijau. Sejumlah pendekatan pun dikedepankan, mulai dari musyawarah mufakat berbasis kearifan lokal, restorative justice, hingga program Jaga Desa.

“Penegakan hukum humanis adalah program prioritas Jaksa Agung. Terutama penanganan perkara kecil yang tidak berdampak, sedapat mungkin tidak masuk ke pengadilan dengan berbagai pendekatan, mulai dari musyawarah mufakat, kearifan lokal, restorative justice, dan Jaga Desa,” jelas Ketut.

Ia menambahkan, dalam setiap kesempatan Jaksa Agung selalu menekankan bahwa setiap jaksa harus memiliki integritas, profesionalisme, dan empati dalam menjalankan tugas. Pendekatan humanis dan ketegasan hukum diupayakan berjalan seimbang agar keadilan benar-benar dirasakan masyarakat.

“Kejaksaan RI telah mereformasi diri dengan penegakan hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat. Jaksa harus memiliki integritas, profesional dan empati dalam penegakan hukum,” kata Ketut.

Dalam penanganan perkara korupsi, Kejaksaan juga menempatkan unsur perekonomian negara dan hajat hidup masyarakat sebagai pertimbangan penting. Setiap tindakan penegakan hukum diarahkan tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk menyelamatkan perekonomian dan keberlanjutan kehidupan masyarakat.

Pendekatan ini sejalan dengan program Asta Cita pemerintahan saat ini yang menekankan penegakan hukum berkeadilan, berpihak kepada kepentingan publik, serta mendukung keberlanjutan pembangunan nasional. Reformasi yang ditempuh Kejaksaan RI diharapkan semakin menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum ini.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan