Hadirkan Bukti Status Lahan, Pertanyakan Unsur Pidana di Sidang Dugaan Korupsi Tol Betung-Tempino-Jambi

Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Tol Betung Tempino-Jambi, di Pengadilan Negeri Klas 1A khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang.--

PALEMBANG, KORANRADAR.ID - Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan lahan Tol Betung -Tempino–Jambi kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang. Agenda sidang menghadirkan dua terdakwa: Yudi Herzandi (YH), mantan Asisten I Setda Muba, dan Amin Mansur (AM), mantan pegawai BPN Muba. Keduanya saling diperiksa sebagai saksi dalam perkara masing-masing.

Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Fauzi Isra ini turut dihadiri Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Musi Banyuasin. Dalam sesi pemeriksaan, kuasa hukum Amin Mansur, Mujaddin Islam, SH, MH, menyodorkan sejumlah dokumen penting berupa Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tahun 1993 dan 1996. Kedua SK tersebut, menurutnya, secara tegas menunjukkan bahwa lahan yang menjadi objek perkara telah dilepaskan dari status kawasan hutan negara.

“Dalam SK tersebut jelas dinyatakan bahwa wilayah Simpang Tungkal dan Simpang Peninggalan telah dibebaskan oleh Kementerian Kehutanan. Artinya, status lahan tersebut bukan lagi milik negara. Sayangnya, poin ini belum menjadi perhatian dalam proses pembuktian di persidangan,” ujar Mujaddin.

Ia juga menambahkan bahwa hingga kini belum ada proses pengujian sahih terhadap status kepemilikan lahan yang disengketakan, apakah benar merupakan aset negara, milik pribadi, atau perusahaan.

“Seharusnya dibuktikan terlebih dahulu status lahan tersebut. Jangan sampai perkara ini masuk ke ranah pidana, padahal secara administratif belum diselesaikan,” tegasnya.

Di sisi lain, kuasa hukum Yudi Herzandi, Nurmalah SH MH, turut memberikan pernyataan seusai sidang. Ia membantah tuduhan pemalsuan dokumen dan adanya pemufakatan jahat antara kliennya dengan terdakwa lain maupun pihak ketiga seperti Haji Halim.

“Sepanjang persidangan, JPU belum menunjukkan bukti kuat adanya pemufakatan jahat. Bahkan hingga hari ini tidak ditemukan kerugian negara dan tidak ada ganti rugi yang diterima pihak mana pun,” ujar Nurmalah.

Ia menilai pembuatan dokumen seperti Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (SPPF) adalah prosedur yang sah jika lahan tersebut memang dikuasai oleh pihak tertentu, dalam hal ini H. Halim. Sebaliknya, jika SPPF dibuat atas tanah yang tidak dikuasai, barulah hal itu bisa dikategorikan sebagai pemalsuan.

Terkait penandatanganan perubahan lokasi (penlok) baru, Nurmalah mengungkapkan bahwa langkah tersebut dilakukan di bawah pengawasan langsung Kejari Muba yang berperan sebagai Pengawas Proyek Strategis Nasional (PPS). Ia mempertanyakan mengapa proyek tetap berjalan berdasarkan penlok baru jika memang terdapat masalah hukum.

“Bila perubahan penlok dianggap bermasalah, seharusnya proyek tidak berjalan. Faktanya, proyek strategis nasional tersebut tetap dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa aspek hukum administratif sudah dipenuhi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Nurmalah menekankan bahwa tujuan utama hukum pidana adalah mencari kebenaran materiil, bukan sekadar menjatuhkan kesalahan kepada terdakwa.

“Perlu diingat, pengadilan pidana bukan tempat untuk sekadar mencari-cari kesalahan. Jika perkara ini bisa diselesaikan melalui Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), maka tidak semestinya dibawa ke ranah Tipikor,” pungkasnya.

Sebagai informasi, baik Yudi Herzandi maupun Amin Mansur didakwa melanggar Pasal 9 juncto Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terkait dugaan pemalsuan dokumen dan permufakatan jahat dalam pengadaan lahan untuk proyek tol tersebut.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan