Mengembalikan Kejayaan Kopi Sriwijaya: Strategi Pengembangan Agar jadi Kopi Terbaik Nusantara

Minggu 14 Jul 2024 - 06:55 WIB
Reporter : henny
Editor : asifardiansyah

PALEMBANG, KORANRADAR.ID  – Kopi merupakan minuman favorit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Rasanya nikmat dan membuat pikiran fresh, sehingga dapat merangsang otak menciptakan ide dan karya monumental bagi penggemarnya. 

Selain itu, menurut ilmu kesehatan umum, minum kopi tanpa gula berkhasiat menurunkan berat badan, menyehatkan organ hati, hingga menurunkan risiko terkena penyakit alzheimer. 

Namun Kopi bukan hanya sekedar persoalan rasa, tidak hanya soal manfaat bagi kesehatan, kopi berkali-kali lipat lebih dari itu. 

Kopi adalah bisnis dan industri raksasa dan  menjadi salah satu komoditas unggulan nasional yang dapat memberikan manfaat ekonomi luar biasa bagi negara dan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan Statistik Kopi Indonesia Tahun 2022 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), total produksi kopi nasional mencapai 774,96 ribu ton, paling banyak disumbangkan oleh Sumatera Selatan (Sumsel) sebesar 211,68 ribu ton (26,85%) disusul oleh Lampung 116,28 ribu ton (14,68%) dan Sumatera Utara 80,87 ribu ton (11,16%). 

Kontribusi produksi paling besar yang disumbangkan Sumatera Selatan ditunjang oleh luas areal perkebunan kopi yang juga terluas secara nasional sebesar 267,25 ribu hektar atau 21,11% dari total luas areal kopi di Indonesia. Singkatnya, Sumsel merupakan tulang punggung produksi kopi nasional.

Meskipun data dan fakta menunjukkan bahwa hegemoni produksi dan luas areal lahan kopi di Sumsel tidak terbantahkan, namun nyatanya bisnis dan industri kopi di Sumsel masih jauh tertinggal dibanding daerah lain. 

Masyarakat Indonesia lebih familiar dengan brand Kopi Toraja (Sulawesi Selatan), Kopi Gayo (Aceh), Kopi Kintamani (Bali), Kopi Sidikalang (Sumatera Utara), dan Kopi Bajawa (Flores, Nusa Tenggara Timur). 

Kopi Lampung bahkan lebih terkenal dibandingkan kopi dari daerah “Sriwijaya”. Padahal banyak varian kopi di Sumsel seperti Kopi Semendo, Kopi Dempo/Pagaralam, dan Kopi Lintang sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi market leader kopi nusantara.Kurang berkembangnya bisnis dan industri Kopi Sumsel menyebabkan kesejahteraan petani kopi yang berjumlah hampir 200 ribu kepala keluarga belum sesuai dengan yang diharapkan.

Branding “Kopi Sriwijaya” belum masuk dalam top of mind pelaku bisnis dan penggemar kopi nusantara. Menurut riset Ardiansyah (2023) yang dimuat dalam detik.com, problematika Kopi Sumsel pada dasarnya berkaitan dengan aspek kultural dan aspek struktural.

Problematika Kultural

Problematika kultural yang pertama meliputi aspek jenis, produksi, peruntukan, dan mekanisme pasar. Jenis kopi yang paling banyak ditanam di Sumsel 90% adalah robusta dan peruntukannya untuk industri. 

Mekanisme pasar yang telah terbentuk turun temurun yaitu panen-jemur-pengepul menyebabkan kecenderungan hasil panen dijual langsung oleh pengepul kepada industri, yang kebanyakan diluar daerah (seperti Lampung) karena faktor minimnya pelaku industri kopi di Sumsel.

Kedua, aspek psikologis petani. Mayoritas petani kopi Sumsel merupakan generasi pewaris kebun dan pohon orang tua, sehingga cenderung merasa sudah dalam comfort zone. “Petani kopi enggan memperlakuan, merawat, dan mengolah kopi agar lebih memadai dan bernilai tambah,” ucapnya.

Ketiga, aspek produktivitas petani. Dengan luas areal lahan terbesar secara nasional, semestinya produktivitas petani Kopi Sumsel jauh lebih tinggi. Namun demikian, rata-rata produktivitas Kopi Sumsel ternyata baru 0,9 ton per hektar dan lebih sedikit dibandingkan Riau (1,2 ton) dan Sumatera Utara (1,2 ton). Apabila produktivitas tinggi, produksi kopi yang dihasilkan tentunya jauh lebih besar dari yang diserap pasar saat ini.

Kategori :