JAKARTA,KORANRADAR.ID-DPR RI menyoroti soal rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
DPR meminta kebijakan itu dikaji ulang karena dikhawatirkan akan berdampak pada kesejahteraan rakyat dan memiliki efek domino atau efek turunan.
"Sebenarnya sudah sejak lama saya concern terhadap rencana pemerintah terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen ini. Sejak periode DPR lalu, saya mendorong agar rencana tersebut dikaji ulang," kata Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal, Selasa 19 November 2024.
Cucun menilai kenaikan PPN 12 persen kontraproduktif dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat kondisi objektif dari masyarakat dan perekonomian nasional yang saat ini penuh dinamika. "Karena banyak yang akan terkena dampak dari kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini, baik bagi masyarakat umum maupun bagi pendapatan perusahaan yang berakibat pada gaji karyawan," imbuh dia.
BACA JUGA:Indonesia Menang Tipis 1-0 atau Minimal Seri Lebih lanjut, Cucun memaparkan tiga alasan kenaikan PPN pada 2025 perlu dikaji ulang. Pertama, PPN yang dikenakan pada transaksi jual beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) memiliki dampak langsung terhadap daya beli masyarakat. Dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, harga barang dan jasa otomatis juga akan terkerek naik. Hal ini berpotensi menurunkan kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa. "Khususnya pada kelompok masyarakat miskin dan rentan, yang memiliki keterbatasan dalam pengeluaran. Saat harga-harga komoditas naik, beban masyarakat kelas bawah ini semakin berat," jelas Cucun. "Tentunya hal ini harus dihindari, apalagi kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi. Kenaikan harga-harga kita khawatirkan akan membuat masyarakat semakin sulit, padahal PR negara masih banyak, terutama dari sisi ekonomi kerakyatan," sambungnya. Lebih lanjut, Cucun mengatakan PPN merupakan pajak tidak langsung yang mengenakan beban pajak pada konsumen (destinataris). Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, tax burden yang ditanggung oleh konsumen akan semakin besar. "Kondisi ini akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ini termasuk bagi masyarakat kelas menengah dan pekerja dengan pendapatan setara UMR. Kenaikan tarif PPN akan membuat mereka menahan untuk mengurangi konsumsi domestik," imbuhnya. Kemudian, Cucun mengingatkan kenaikan tarif PPN juga berpotensi meningkatkan tingkat inflasi. "Pemikul beban PPN adalah konsumen akhir, sedangkan perusahaan dapat mengkreditkan PPN sebagai Pajak Masukan. Pada akhirnya harga barang dan jasa akan memengaruhi tingkat inflasi," ungkapnya. "Kenaikan harga produk dan jasa akan langsung memengaruhi indeks harga konsumen, salah satu indikator inflasi. Tapi masalahnya, kenaikan inflasi tak diikuti dengan kenaikan upah yang signifikan. Dampak dari kondisi ini dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan, terutama terkait daya beli masyarakat. Selain itu, potensi restitusi PPN juga akan meningkat seiring dengan kenaikan tarif PPN, yang memerlukan biaya administrasi lebih besar bagi Pemerintah," sambung dia. Alasan kedua, Cucun menyinggung kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian. Kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional. "Konflik geopolitik, krisis energi, dan krisis pangan yang terjadi di berbagai belahan dunia telah menimbulkan tekanan tambahan terhadap perekonomian nasional," urai Cucun. Cucun pun mengungkap alasan ketiga terkait beberapa sektor ekonomi yang diprediksi akan sangat terdampak oleh kenaikan PPN antara lain sektor ritel, pariwisata, dan industri. "Sektor ritel diprediksi akan mengalami penurunan penjualan akibat turunnya daya beli masyarakat. Padahal industri ritel kita sudah terpuruk beberapa waktu belakangan, lalu akan jatuh seberapa dalam lagi mereka? Sebab industri harus meningkatnya biaya produksi yang berpotensi menurunkan daya saing pengusaha di pasar global," ujar Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu. Sebagai informasi, kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN adalah pajak tidak langsung, yang artinya dibayarkan oleh konsumen kepada penjual, namun kemudian disetorkan oleh penjual kepada kas negara.