Sembahyang Rebutan di Palembang: Memahami Larangan dan Tradisi Bulan Hantu Lapar

Apau Andi dan Pipi saat diwawancarai--
PALEMBANG, KORAN RADAR. ID - Rangkaian perayaan Sembahyang Rebutan atau Festival Ulambana di Kelenteng Kwa Ceng Bio di Jalan Veteran Palembang resmi dimulai dengan ritual pembuka pintu neraka pada Jumat, 22 Agustus 2025. Perayaan yang juga dikenal sebagai Festival Hantu Lapar ini berakar kuat pada kepercayaan Tionghoa, di mana pintu alam baka diyakini terbuka selama sebulan penuh, memungkinkan para arwah berkelana di dunia manusia.
Hal-Hal yang Harus Dihindari di Bulan 7 Imlek
Menurut Ketua Locu, Andi, didampingi Pipi dan Apau, momen ini menuntut kehati-hatian ekstra dari masyarakat Tionghoa. Pipi menjelaskan, pada bulan ketujuh penanggalan lunar ini, beberapa aktivitas besar secara tradisional dihindari sebagai bentuk penghormatan dan kewaspadaan terhadap kehadiran arwah:
-
Menikah: Menikah di bulan ini dianggap tidak membawa keberuntungan.
-
Membuka Usaha Baru: Memulai bisnis baru sering kali ditunda karena diyakini akan mengalami hambatan.
-
Bepergian Jauh: Perjalanan jarak jauh, terutama di malam hari, cenderung dihindari.
-
Berinteraksi dengan Arwah: Masyarakat disarankan untuk tidak berinteraksi atau menoleh saat mendengar panggilan misterius di malam hari.
-
Renang atau Kegiatan Air: Dipercaya bahwa arwah dapat menarik orang ke dalam air.
"Pada bulan ini, kami merasa harus lebih hati-hati dan selektif dalam melakukan aktivitas," jelas Pipi.
BACA JUGA:Sembahyang Rebutan: Memahami Makna di Balik Ritual Tahunan Kelenteng Dewi Kwan Im Palembang
Prosesi Ritual dan Sejarah Sembahyang Rebutan
Ritual pembuka diawali dengan sembahyang altar pada pukul 19.00 WIB, diikuti dengan pembukaan pintu neraka pada pukul 20.00 WIB. Puncak perayaan Sembahyang Rebutan akan diakhiri dengan ritual pembakaran Taisu atau raja setan.
Secara historis, tradisi yang juga dikenal sebagai Festival Cioko ini bermula dari ritual masyarakat agraris. Perayaan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan dewa agar hasil panen melimpah. "Cioko" secara harfiah berarti 'menjarah dari altar', merujuk pada ritual di mana berbagai persembahan seperti buah, kue, minuman, dan masakan disajikan untuk para arwah.
Hadir dalam ritual pembuka ini sejumlah tokoh penting, termasuk Ketua Walubi Sumsel, Tjik Harun SE, SH MH, serta Ketua PTITD Agung Komda Sumsel yang juga Ketua Kelenteng Dewi Kwan Im, Mahmud (Akhe). Perayaan ini, yang juga disebut Cit Gwee Poa, menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara dua alam dan menghormati arwah leluhur.