Momen Harkitnas Kilang Pertamina Plaju, Kobarkan Semangat Nasionalisme Sejarah Energi Bangsa

PT Kilang Pertamina Internasional RU III Plaju menggelar upacara peringatan Harkitnas dipimpin langsung GM RU III, Hermawan Budiantoro di Lapangan CRGM Perkantoran Plaju.--
PALEMBANG, KORANRADAR.ID – Para manajemen dan pekerja PT Kilang Pertamina Internasional RU III Plaju menggelar upacara peringatan Harkitnas dipimpin langsung GM RU III, Hermawan Budiantoro, juga membacakan sambutan dari Menteri Komunikasi dan Digital RI. di Lapangan CRGM Perkantoran Plaju. Selasa, 20 Mei 2025.
Wujud penghormatan atas semangat persatuan dan cita-cita kebangsaan. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa kebangkitan nasional hari ini tak lagi hanya bicara soal kemerdekaan fisik, tapi juga tentang adaptasi teknologi, kolaborasi, dan penguatan nilai-nilai kebangsaan.
“Kebangkitan sejati adalah yang tumbuh dari akar kemanusiaan, menembus dalam seperti akar pohon, pelan tapi pasti menopang kehidupan. Inilah fondasi bagi keadilan dan kesejahteraan yang bisa dirasakan bersama,” ujar Hermawan.
Pengibaran Merah Putih, pembacaan Pembukaan UUD 1945, dan lantunan lagu Indonesia Raya menjadi simbol kuat bahwa semangat nasionalisme tetap terpatri di hati seluruh insan Kilang Pertamina Plaju.
“Semoga semangat Harkitnas ini terus menginspirasi seluruh pekerja untuk senantiasa menghadirkan energi terbaik bagi negeri,” kata dia.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-117 menjadi momentum reflektif bagi seluruh anak bangsa, termasuk Kilang Pertamina Plaju sebagai bagian dari garda energi nasional. Di momen bersejarah ini, kilang yang telah berdiri lebih dari seabad lalu mengingatkan kembali perannya dalam perjalanan energi negeri.
Harkitnas ditetapkan untuk mengenang berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, organisasi pelopor pergerakan nasional. Namun, jauh sebelum itu, kilang minyak pertama di Palembang telah berdiri pada 1904 oleh Shell, kemudian disusul Stanvac pada 1926 di Sungai Gerong. Keduanya menjadi fondasi awal infrastruktur energi di Indonesia.
Dalam masa penjajahan dan perang dunia, keberadaan kilang di tepi Sungai Musi ini menjadi aset strategis. Dikuasai oleh Belanda, dimanfaatkan Sekutu, dan sempat dibumihanguskan oleh Jepang, hingga akhirnya dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pada 1965, jejak perjuangan ini menjadi bukti nyata bahwa semangat kebangkitan tak hanya tercermin di medan perang, tapi juga dalam penguasaan aset vital bangsa.
Peneliti Fachriansyah (2023) mencatat bahwa nasionalisasi kilang menjadi tonggak penting. Setelah menjadi milik negara, kilang terus dimodernisasi dan kini menjadi salah satu tulang punggung pasokan energi di Sumatera Bagian Selatan, dengan kapasitas produksi mencapai 80 MBSD.
Beragam produk energi strategis dihasilkan dari kilang ini, mulai dari Pertalite, Solar, Biosolar, hingga Avtur, Dexlite, LPG, dan produk non-BBM seperti Polypropylene, SBPX, LAWS, Musicool MC-22, hingga Breezon MC-32. Seluruhnya turut menopang 60% kebutuhan energi di kawasan Sumbagsel. (mun)