Tanyakan Pada Dunia Apa Itu Cinta

--

“Dokter, Dokter, saya berpenyakit aneh, saya benar-benar sakit!” kata seorang pria pengidap diabetes berusia 46 tahun datang dari utara Taiwan dengan suara gemetar.

Melihat bibir dan tangannya gemetar, saya bertanya padanya, “Ada apa dengan Anda? Ceritakanlah pelan-pelan.”

Pria itu berhenti sejenak lalu berkata, “Biasanya saya sangat jarang naik pitam, baru-baru ini saya sering menghardik istri dan anak saya, anak-anak pun sampai ketakutan, tapi saya tak kuasa mengendalikan diri. Dokter, apakah sakit saya ini serius?”

a mengatakannya dengan penuh rasa putus asa tak kuasa menahan diri, dan nyaris terisak menangis. Saya bertanya, “Apa yang terjadi di keluarga Anda?”

Ia mulai bercerita: ia sedang mengepalai sebuah tim yang setiap hari dikejar target omset, setiap hari harus bekerja sampai belasan jam, prestasinya cukup baik. Tapi baru-baru ini istrinya patah tulang di bagian mata kaki dan harus dirawat di rumah sakit. Jadi setiap hari ia tidak hanya harus bekerja, sepulang di rumah harus melakukan pekerjaan rumah tangga, menyapu, memasak, mengantar-jemput anak sekolah, dan masih harus ke rumah sakit merawat istrinya. Setiap malam ia merasa kecapaian dan terkapar tak berdaya di tempat tidur.

Istrinya bukan saja tidak mau mengerti keadaannya, malah sebaliknya selalu mengeluhkan ini dan itu, mengata-ngatai dirinya biar tahu rasa betapa sulitnya pekerjaan seorang istri sehari-hari melakukan pekerjaan rumah tangga dan harus merawat anak.

Tak diduga, dua bulan kemudian, istrinya kembali mengalami patah tulang mata kaki dan harus dirawat di rumah sakit lagi. Omsetnya mulai menurun, pendapatan per bulan pun ikut menurun ke angka 70.000 hingga 80.000 (sekitar 32 juta rupiah). Belum lagi adanya beban kredit rumah, ekonomi keluarga harus dipikul seorang diri.

Kali ini ia dan istri pun terlibat pertengkaran hebat, ia menyalahkan istrinya yang kurang hati-hati, sehingga memojokkan dirinya ke posisi serba sulit, yang lebih patut dikasihani adalah posisi putri mereka yang terjepit di antara mereka berdua.

Saya berkata, “Sepertinya Anda sangat tersiksa. Coba Anda renungkan kembali, awalnya Anda pasti sangat mencintai istri Anda, maka Anda pun memilih dirinya sebagai pendamping hidup Anda. Berapa lama Anda sudah tidak pernah lagi mengungkapkan cinta kepadanya? Ada sepenggal kalimat dari puisi, Puisi Makam Belibis yang berbunyi , “Tanyakan pada dunia, apa itu cinta, saling berdampingan sehidup semati. Sebenarnya kalimat ini bukan mengisahkan sepasang kekasih.”

Ia terbelalak memandang saya. Saya melanjutkan cerita saya, “Seorang sastrawan di zaman Dinasti Yuan bernama Yuan Yishan ketika pergi ke Bingzhou untuk ikut ujian negara, di tengah perjalanan bertemu seorang penjual belibis liar, pedagang itu berhasil menangkap sepasang belibis dengan jaring, belibis jantan berhasil lolos tapi tidak terbang menjauh, melainkan terus terbang berputar-putar di sekitar belibis betina, sambil terus menciak pilu. 

Ketika belibis jantan melihat pedagang itu menyembelih belibis betina, si jantan tiba-tiba menukik tajam dan menabrakkan diri ke tanah dan mati seketika. Yuan Yishan sangat tersentuh akan kejadian itu, ia pun membeli kedua ekor belibis dan menguburkannya di pinggir sungai. Lalu membuat batu nisan yang bertuliskan ‘Makam Belibis’, dan menulis puisi Makam Belibis di batu nisan tersebut. Coba Anda pikirkan, binatang saja sangat berperasaan, apalagi kita sebagai manusia!”

Setelah mendengar cerita saya, rona wajahnya menjadi agak tenang.

Saya menambahkan, “Tahukah Anda apa itu sibuk? Sibuk atau 忙 (dibaca: mang) terdiri dari unsur 忄 (dibaca: xin) hati di sebelah kiri, yang berarti perasaan dari dalam kalbu manusia, di sebelah kanan adalah 亡 (dibaca: wang) mati. Jadi sibuk adalah semacam matinya perasaan hati.

Coba Anda lihat lagi kata 安 (dibaca: an) tentram. Di atasnya adalah unsur 宀 (dibaca: mian) rumah, sedangkan di dalamnya ada unsur 女 (dibaca: nǚ) wanita. Dalam hal ini berarti wanita yang baik atau istri, maknanya adalah jika ada istri yang baik maka suasana rumah akan selamat, tentram, aman, damai, dan tenang!” Kali ini pria itu tertawa pahit.

Tag
Share