JAKARTA, KORANRADAR.ID - PT Bio Farma (Persero) menargetkan pengembangan dan produksi vaksin Rotavirus dan Rubella di bangunan milik negara (BMN) dapat dimulai pada akhir 2025.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, Bio Farma mengusulkan pemanfaatan aset bangunan milik negara yang berlokasi di Bandung untuk meningkatkan kapasitas produksi vaksin Rotavirus dan Rubella, melalui skema penyertaan modal negara (PMN).
Bangunan tersebut adalah bekas fasilitas vaksin Flu Burung, yang dibangun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2008. Namun, aset yang didirikan di lokasi milik Bio Farma itu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga Kemenkes bermaksud untuk memindahtangankan aset tersebut kepada Bio Farma.
Akan tetapi, pemberian PMN nontunai tersebut masih harus melalui persetujuan DPR RI.
Dalam RDP dengan Komisi XI DPR RI, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Shadiq Akasya berharap usulan tersebut dapat disetujui, mengingat aset bangunan negara senilai Rp68 miliar itu penting sebagai pelengkap pengembangan dua produksi utama Bio Farma saat ini, yaitu vaksin Rotavirus dan Rubella.
“Dua vaksin ini masuk dalam program imunisasi nasional, tetapi kami belum bisa memproduksi sendiri karena keterbatasan fasilitas. Seandainya kami bisa memanfaatkan bangunan dan sarana tersebut, maka itu akan membantu percepatan proses investasi,” kata Shadiq.
Ia menyebut Indonesia membutuhkan 11 juta dosis vaksin Rotavirus untuk memenuhi program vaksin nasional setiap tahunnya, dengan nilai total Rp500 miliar. Indonesia juga membutuhkan 20 juta dosis vaksin Rubella dengan total nilai Rp250 miliar.
Produksi dalam negeri kedua vaksin ini diyakini dapat meningkatkan kemandirian industri dalam negeri dan menghasilkan penghematan devisa negara yang signifikan, karena saat ini kedua vaksin tersebut masih impor.
Menurut Shadiq, PT Bio Farma dapat memulai pengembangan dan produksi vaksin, diagnostik kit, dan bio similar di fasilitas yang menggunakan PMN, dengan proyeksi penjualan Rp50,4 miliar pada 2024, Rp340,7 miliar pada 2025, hingga Rp385,4 miliar pada 2028. (ant)