JAKARTA, KORANRADAR.ID – Menjelang 2nd TPOMI 2024 (Technology & Talent Palm Oil Mill Indonesian) yang akan diselenggarakan 18-19 Juli mendatang sejumlah fakta menarik mulai disinggung oleh para profesional di bidang perkebunan, salah satunya kesinambungan antara kemajuan teknologi dan keterbatasan kesempatan kerja yang berbuah ancaman PHK.
Hal ini dibahas oleh Ketua GAPKI Bidang SDM dan Ketenagakerjaan, Sumarjono Saragih, Jumat (7/6/24). Menurutnya salah satu aspek pada industri kelapa sawit yang semakin banyak mencuri perhatian saat ini adalah praktek perburuhan atau ketenagakerjaan.
“Selama ini, sorotan perburuhan di lingkungan pabrik sawit relatif minim. Lebih bayak perburuhan di kebun. Populasi pekerja pabrik memang kalah jauh dari jumlah yang bekerja di kebun. Wilayah kerja juga relatif kecil. Tapi pabrik tidak boleh lalai dan harus juga berbenah. Kini juga mulai ada sorotan tentang ‘food grade standard‘,” ungkap Sumarjono, Jumat (7/6/24).
Sumarjono yang juga menjabat sebagai Chairman & Founder Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil (WISPO) menyebutkan, tidak kurang 1.800 pabrik sawit menjadi tempat mengolah TBS yang mana TBS hasil kebun perusahaan 58% dan lahan milik petani 42%.
“Bila setiap pabrik punya 200 orang pekerja maka ada 360.000 pekerja (keluarga), dengan dua anak dan satu suami atau istri. Itu artinya ada sebanyak 1.440.000 orang menikmati kehidupan dari operasional pabrik,” ujarnya.
Ia juga menambahkan soal tantangan lingkungan kerja di pabrik yang berbeda tetapi kewajiban pemenuhan standar keberlanjutan sama, seperti misalnya tentang K3 yang oleh ILO, lingkungan kerja yang aman dan sehat (K3) sudah menjadi salah satu Fundamental Principles and Rights at Work.
“Artinya hak dasar pekerja. Lokasi kerja pabrik rentan ancaman K3. Ancaman K3 bisa terjadi kapan dan dimana saja. Bahkan tabrakan pesawat terjadi di bandara Haneda Jepang. Negara maju budaya K3 dan di industri sarat teknologi canggih. Jadi K3 bukan hanya perlu jadi budaya. Tapi sudah harus menjadi proses bisnis,” kata Sumarjono.
Ia menilai, kualitas kepatuhan akan proses bisnis akan lebih tinggi bila manajeman dan pekerja (serikat) punya komitmen sama, hal ini harus dibangun melalui dialog sosial yang menjadi bagian proses kerja dan indeks kinerja (KPI).
“Bila K3 dan semua praktek terbaik perburuhan dilakukan, maka sawit Indonesia akan (makin) berkelanjutan. Lebih dari itu, sawit pun ikut menghasilkan keluarga dan generasi untuk Indonesia Emas 2045,” ujarnya.
Teknologi dan Ancaman PHK
Konferensi dan ekshibisi pabrik sawit ke-2 atau 2nd TPOMI 2024 mengusung tema ‘Teknologi dan Talenta (Manusia)’, Sumarjono mengatakan, adopsi teknologi dibutuhkan untuk efisiensi dan produktifitas.
Tetapi untuk penerapan teknologi itu sendiri juga diperlukan ‘seni’ untuk menanggulangi dampak negatif dari kemajuan teknologi seperti pada saat yang sama teknologi justri berpotensi mengurangi kebutuhan pekerja dan bisa berujung PHK.
“Pabrik sawit harus berpacu dan seimbang. Memenuhi sederet syarat keberlanjutan. Mengadopsi teknologi (mesin, IoT dan AI) dan mengelola orang. Pekerja juga harus waspada dan terus skiling, up-skilling dan re-skiling,” jelas Sumarjono.Dalam persiapan menjelang 2nd TPOMI 2024 dan konferensi pers pada Sabtu (1/6/24) lalu disebutkan dampak adopsi AI. Di satu pos aktivitas bongkar muat dan sortasi bisa menghemat 75% pekerja. Konon dari 20 orang bisa menjadi 5 orang saja bila pake AI (Artificial Inteligence).
“Industri sawit memang relatif lambat dalam adopsi teknologi (AI dan IoT). Tapi cepat atau lambat, akan datang masanya dan masif. Pilihannya satu: Bersiap!” pungkasnya