JAKARTA, KORANRADAR.ID - Turbulensi politik akibat pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait aturan undang-undang yang memperbolehkan presiden untuk ikut campur dalam proses suksesi kepemimpinan nasional berbuntut panjang dan luas. Pernyataan Jokowi kemudian mendapatkan sejumlah revisi maupun klarifikasi dari pihak istana ataupun kalangan politisi pendukungnya.
"Cawe-cawe untuk negara, untuk kepentingan nasional. Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini, saya bisa cawe-cawe," kata Presiden Jokowi pada forum pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin 29 Mei 2023 lalu.
Pro dan kontra terkait pernyataan Presiden tersebut dilatarbelakangi proses pemilihan presiden 2024, di mana putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, turut berkontestasi sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi capres Prabowo Subianto. Dimensi buntut panjang dimaknai bahwa pernyataannya yang dilontarkan pada Mei 2023 tersebut terus menuai perdebatan publik hingga tahun ini. Sementara berdimensi luas karena polemik yang muncul terus melebar menjadi perbincangan tiada putus di kalangan warganet di media sosial, masyarakat dan LSM pegiat sosial politik di ranah nyata, hingga media massa lokal dan asing. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir kontroversi itu juga memantik kritik keprihatinan dari sivitas akademika berbagai perguruan tinggi nasional.
Terkini, Sikap atas penolakan cawe-cawe Presiden Jokowi dalam pilpres dilakukan oleh Ribuan mahasiswa yang berunjuk rasa di kawasan Harmoni, dekat Istana Negara, Jakarta, pada Rabu 7 Februari 2024 . Dalam aksi unjuk rasa bertajuk #TolakPemiluCurang, sejumlah mahasiswa mencopoti alat peraga kampanye atau poster pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Poster-poster tersebut kemudian dibakar oleh mahasiswa.
Sikap kontra terhadap dugaan kecenderungan Presiden dalam Pilpres 2024 juga dilakukan oleh akademisi mulai dosen hingga profesor di berbagai kampus. Tercatat hingga Senin 5 Februari 2024, sudah lebih dari 30 perguruan tinggi dari berbagai wilayah di Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap, petisi, maklumat ataupun seruan terkait konstelasi politik nasional yang terpicu oleh pernyataan cawe-cawe Presiden Jokowi tersebut. Yang pertama kali adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024. Langkah itu lantas menular ke kampus lainnya, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya dan sejumlah kampus ternama lainnya di berbagai wilayah. Termasuk Institut Teknologi Bandung (ITB) yang angkat suara melalui deklarasinya pada Senin 5 Februari 2024.
Persoalan puncak dari keresahan publik termasuk kalangan sivitas akademika beragam perguruan tinggi tidak bisa dipungkiri adalah nuansa “keberpihakan” Presiden Jokowi terhadap pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Pilpres 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Sejumlah politisi partai anggota koalisi ataupun tokoh-tokoh di Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran serta pendukungnya pun seolah menihilkan keprihatinan banyak kalangan tersebut. Beragam narasi yang keluar justru defensif dan kental dengan tudingan bahwa masyarakat sipil dan sivitas akademika kampus ditunggangi ataupun digerakkan oleh kalangan-kalangan kompetitor politik atau pun yang kalangan yang kerap dituding sebagai hater Jokowi, Prabowo dan Gibran.
Misalnya saja adalah Menteri Investasi dan Kepala BKPMf, Bahlil Lahadalia sebagai salah satu pendukung paslon Prabowo-Gibran, yang justru melontarkan kecurigaan bahwa gelombang kritik dan keprihatinan dari beragam sivitas akademika itu adalah sebuah “skenario politik” dan ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Menurut Ketua Tim Kerja Strategis (TKS) paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka itu, kecurigaannya berlandaskan pengalamannya sebagai aktivis di lembaga kemahasiswaan kampus.
“Skenario ini, kita sudah paham sebagai mantan aktivis. Ini 'penciuman' saya sebagai mantan Ketua BEM ngerti betul barang ini. Kecuali kita (saya) dulu kutu buku, kita (kan) besar di jalan,” ujar Bahlil di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin 5 Februari 2024.
Sebelumnya, dilandasi kekhawatiran adanya kemunduran demokrasi Indonesia karena nuansa dinasti politik atau politik keturunan (hereditary politics) akibat cawe-cawe Presiden Jokowi tersebut, pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar pun pernah menyebutkan perlunya “kudeta konstitusional” melalui pemilu atau Pilpres yang digelar 14 Februari 2014 mendatang. Menurut Uceng, sapaan akrabnya, ancaman terbangunnya politik dinasti yang dibangun oleh Presiden Jokowi melalui putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka harus segera diakhiri oleh para pemilih hak suara pada Pilpres 2024.
"Sudah saatnya kita bicara soal bagaimana membatasi kekuasaan presiden untuk cawe-cawe dalam proses pemilihan, ini berbahaya. Makanya kita salah satu negara yang tidak memiliki aturan yang memadai, harusnya ada pembatasan memadai. Kita sudah harus berpikir untuk mengurangi kekuasaan presiden atau kuasa presiden antar waktu pemilu baik dia incumbent ataupun tidak," katanya, Jumat 3 Januari 2024.
Sementara peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan bahwa Presiden Jokowi dinilai berupaya meneruskan ambisi dan warisannya dengan melakukan estafet atau memberikan warisan tampuk kekuasaan kepada putranya, yang mendampingi calon presiden Prabowo Subianto. Semua langkah itu, menurut Firman, dilakukan Jokowi demi melanjutkan warisan-warisannya. Sebab jika Prabowo-Gibran yang tegas dengan narasi “melanjutkan program Jokowi”, maka dalam periode lima tahun (2024-2029) tidak bisa dipungkiri yang bakal terlihat adalah panggung keberlanjutan kinerja Jokowi.
“Jokowi berambisi untuk melanjutkan warisan dia. Dia sangat ingin dikenang dengan proyek-proyek mercusuarnya. Dia juga sangat ingin soft landing, dalam arti tidak ada yang mengganggu dia setelah selesai menjabat,” kata Firman. (adv)