Petani Sawit Indonesia Soroti Penundaan EUDR

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Implementasi EUDR sekaligus Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Marcel Andri dalam sebuah diskusi bertajuk "Perbaikan Tata Kelola Komoditas Berkelanjutan Indonesia dalam Menjawab T--

JAKARTA, KORANRADAR.ID - Penundaan implementasi Peraturan Anti-Deforestasi dari Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR) menjadi perhatian serius bagi petani sawit Indonesia, khususnya yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).

Kepala Departemen Advokasi SPKS Marcel Andri di Jakarta, Senin, mengatakan sejak 2015 SPKS telah mempersiapkan diri untuk memenuhi standar EUDR dengan berbagai upaya, seperti sertifikasi dan pendataan petani.

Namun pihaknya menilai keputusan Komisi Uni Eropa untuk mengusulkan menunda pelaksanaan EUDR dari sebelumnya Desember 2024 menjadi hingga 30 Desember 2025 bagi perusahaan besar dan hingga 30 Juni 2026 bagi usaha mikro dan kecil, memicu kekhawatiran.

"Usulan penundaan EUDR ini berdampak signifikan terhadap biaya yang telah dikeluarkan petani," katanya  dalam sebuah diskusi bertajuk "Perbaikan Tata Kelola Komoditas Berkelanjutan Indonesia dalam Menjawab Tantangan Pasar Global" itu.

Dia menjabarkan opportunities cost yang dikeluarkan petani kelapa sawit kira-kira mencapai Rp 200 ribu per hektare. Pihaknya sudah melakukan pendataan sekitar 70 ribu petani, termasuk yang telah tersertifikasi RSPO dan ISPO. Namun, ketika EUDR ditunda, batu loncatan yang seharusnya petani rasakan dari investasi ini berpotensi tidak terwujud.

Ia juga menyoroti banyak petani sawit yang telah terpetakan namun belum terlibat dalam sertifikasi apapun, baik dari pemerintah maupun lembaga internasional. Hal ini menunjukkan upaya perbaikan tata kelola belum memberikan manfaat nyata bagi petani.

Padahal, menurut Marcel, EUDR bisa menjadi peluang besar bagi petani untuk masuk ke dalam rantai pasok global dan meningkatkan kapasitas mereka.

"Selama 12 bulan ke depan, penting untuk membahas bagaimana sistem dukungan pendanaan ke petani, serta manfaat dari pendataan, penyediaan koordinat, dan sistem ketelusuran. Hal ini harus segera diuji dan diselesaikan," ucapnya.

EUDR merupakan regulasi Uni Eropa yang bertujuan memastikan produk yang masuk ke pasar Eropa tidak berkontribusi pada deforestasi atau degradasi hutan di negara penghasil.

Dengan rencana penundaan ini, SPKS berharap Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia khususnya tetap memperhatikan perlindungan petani kecil, serta memberikan fasilitas pelatihan dan investasi yang diperlukan untuk mematuhi standar EUDR. (ant)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan