Fengshui Pemberian Nama Tionghoa pada Anak

Fengshui, Pemberian Nama Tionghoa, pada Anak--

PALEMBANG, KORANRADAR.ID  - Ilmu Fengshui ternyata tidak dipakai hanya untuk rumah atau bangunan saja, tetapi bisa juga dipakai untuk membuat nama pada anak (sejak bayi). Tujuan pembuatan nama anak berdasarkan Fengshui dengan harapan agar anaknya kelak bisa menjadi orang yang kaya rezeki, jadi orang terkenal, jadi pejabat, jadi artis, dan sebagainya. Banyak teknik atau cara dalam pemberian nama Fengshui anak, seperti dikutip dari tionghoainfo, di antaranya adalah :

 1. Untuk nama karakter Hanzi juga ada hitungan unsur-nya. Misalnya kalau unsur lahirnya kekurangan/lemah di unsur Kayu, maka dicarikan nama yang berunsur Kayu agar bisa seimbang. Untuk nama karakter Hanzi juga harus lebih dari 30 coretan/goresan (tradisional).

 2. Tanggal lahir dan jam lahir anak dicarikan unsurnya. Kalau sudah ketemu, misalnya unsurnya adalah udara, maka bisa pakai nama ‘Bayu’; nama ‘Bayu’ berarti angin. Kalau angin berarti unsurnya udara, atau dicarikan unsur lain yang berkaitan terhadap udara.

 3. Pemberian nama berdasarkan silsilah keluarga. Tapi di jaman modern sekarang, rasanya sudah jarang yang memakai nama dari silsilah keluarga yang seperti ini. Yang penting arti namanya bagus saja. Contohnya seperti ini :

♦ Misalnya nama kung-Kung saya Tjong Nyi Chai (dalam bahasa hakka/khek)

♦ Terus nama papa saya Tjong Ik Sin (juga dalam bahasa khek)

♦ Terus nama saya Tjong Se Wie (juga dalam bahasa khek)

♦ Lalu sudara kandung papa saya yang laki pakainya Tjong Ik … (siapa gitu)

♦ Lalu saya dan adik laki-laki pakainya Tjong Se Wie terus Tjong Se Yung (misalnya)

♦ Setelah itu, nama anak laki-laki saya pakai kembar 2 huruf, misalnya Tjong Jing … (siapa gitu)

♦ Silsilah nama itu sudah disusun dari nenek moyang. (‘Ik’ dan ‘Se’ nya konon sudah diatur dari nenek moyang)

 Nama berdasarkan silsilah ini biasanya berasal dari kata-kata syair. Seperti pada contoh diatas, nama-nama ‘Tjong Nyi Chai’, Tjong Ik Sin’, dan ‘Tjong Se Wie’ mungkin menggunakan syair yang bunyinya ‘Nyi Ik Se’. Jadi jika sudah sampai di akhir syair (‘Se’), maka akan kembali ke kata yang pertama (‘Nyi).

Nama Keluarga, atau Nama Generasi, biasanya berbentuk sajak/puisi, yang kata awal hingga kata akhirnya tidak ada yang sama. Sehingga dari nama Keluarga, dapat menunjukkan generasi ke berapa dari ‘Keluarga Besar’. Contoh Sajak (telah ditranslate) : Air Dari Gunung Mengalir Melalui Sungai Menuju Laut.

Maka, yang nama Keluarganya ‘Laut’ akan memanggil ‘Sungai’ sebagai Kung Kung, karena 3 generasi diatasi ‘Laut’. Bukan karena usia, Panggilan2 kekerabatan seperti ini biasanya berlaku pada pertemuan Keluarga Besar

Kalau di kampung halaman leluhur, jika kita bertanya pada tetua disana, hanya dengan menyebut She/Marga dan 3 nama generasi keluarga (kita, papa, kung kung), maka akan ketemu dengan keluarga Besar kita disana.

Nama silsilah ini biasanya sudah di atur sampai ke generasi terbawah (cucu/cicit) oleh nenek moyang. Oleh karena orang-orang Tionghoa masuk ke Indonesia kebanyakan sekitar pada abad ke 16-19, generasi saat ini bisa dibilang “lost generation” akibat gerakan anti China pada tahun 1965 dan diskriminasi terhadap kaum Tionghoa pada 1998.

Sebetulnya urutan silsilah keluarga ini hampir hilang, karena terkena tekanan akibat kejadian diatas, banyak orang Tionghoa yang akhirnya “membuang” nama Tionghoanya. Jadi bersyukur bagi keturunan Tionghoa yang saat ini masih sempat masuk di urutan silsilah generasi keluarga.

 

Marga Tionghoa

名不正则言不顺, 言不顺则事不成.” (Míng bù zhèngzé yán bù shùn, yán bù shùn zé shì bùchéng)

 Pepatah Tiongkok diatas diungkapkan oleh Confucius, seorang cendekiawan. Arti pepatah diatas “Ketika nama seseorang tidak tepat, Maka kata-kata seseorang tidak dapat diterima. Jika kata-kata seseorang tidak diterima, maka seseorang tidak dapat mencapai apa pun”.

Pepatah ini mengungkapkan tentang pentingnya nama seseorang, karena itu adalah bagian yang paling mendasar dari identitas seseorang. Meski sekarang penggunaan nama Tionghoa mulai berkurang di masyarakat, tetapi setidaknya tetap dipakai di lingkungan keluarga. Karena biar bagaimanapun itulah darah yang mengalir di tubuh kita. Beruntung setelah era Gusdur, banyak perkumpulan-perkumpulan marga Tionghoa (berbentuk paguyuban sosial atau yayasan) yang berdiri.

Contohnya seperti perkumpulan suku, seperti suku Hakka (Khek), Hokkian, Kanton, Tiochiu, dan sebagainya, atau perkumpulan marga, seperti marga Lim/Lin (Hanzi ), Tio/Zhang (Hanzi ), Ong/Wang (HanZi ), Tan/Chen (Hanzi ), dan sebagainya.

Jadi untuk generasi Tionghoa sekarang yang ingin memberi nama pada anak/cucu, bisa mendapatkan informasi langsung dari tanah leluhurnya, yaitu dari desa/kampung asal leluhur, karena biasanya mereka punya data-datanya. Tentunya hal ini dibantu oleh perkumpulan-perkumpulan Tionghoa yang sudah ada di Indonesia juga.

Sebenarnya ini peluang bagus untuk bisnis pemberian nama Chinese/Tionghoa bayi, karena sekarang orang Tionghoa di Indonesia kebanyakan masuk kategori ‘lost generation’, jadi kebanyakan sudah tidak mengerti/paham bahasa Mandarin secara mendalam.\

Ya, meski sejak awal tahun 2000-an sudah mulai dibuka kran-kran informasi Tionghoa, seperti sekolah/fakultas yang menyediakan pembelajaran bahasa Mandarin, atau bersekolah ke luar negeri (China), tetapi butuh waktu setidaknya 20 tahun untuk berkembang buat para generasi muda Tionghoa ini. (tio)

 

Catatan:

1. Artikel ini masih perlu direvisi. Banyak informasi yang masih kurang jelas serta simpang siurnya data. Penulis hanya menyampaikan berdasarkan apa yang penulis ketahui untuk saat ini. Apabila ada pembaca yang tertarik untuk merevisi atau menambahkan, maka dipersilahkan untuk mengontak admin lewat form komentar dibawah.

2. Sumber dari hasil share/diskusi antara Zhang, Chandra Widjaya, Iwan Binanto dan Herman Tan di Milis Kedai The.

 

 

Tag
Share