Revolusi Xinhai 1911, Akhiri Kekuasaan Dinasti Qing

--

PALEMBANG, KORANRADAR.ID - Revolusi Xinhai 1911 berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Qing dan menurunkan tahta Kaisar Xuantong pada tahun berikutnya. Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara pemerintahan republik dengan pihak istana bahwa kaisar terakhir Dinasti Qing, Aisin Gioro Puyi beserta keluarganya masih diperkenankan untuk tetap tinggal di istana bagian belakang dari Kota Terlarang.

Ia juga menggunakan gelar kaisar untuk menghindari penilaian yang terlalu buruk dari pemerintah manca negara. Revolusi Xinhai 1911 berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Qing dan menurunkan tahta Kaisar Xuantong pada tahun berikutnya.

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara pemerintahan republik dengan pihak istana bahwa kaisar terakhir Dinasti Qing, Aisin Gioro Puyi beserta keluarganya masih diperkenankan untuk tetap tinggal di istana bagian belakang dari Kota Terlarang.

Ia juga menggunakan gelar kaisar untuk menghindari penilaian yang terlalu buruk dari pemerintah manca negara.

Dengan demikian, tampak seakan-akan sebuah kerajaan kecil yang dipimpin Puyi masih eksis dalam sebuah negara republik. Meskipun terisolir, namun Puyi masih kaisar sampai sebuah pergolakan politik yang terjadi pada 1924, Puyi terpaksa turun tahta lagi dan diusir dari Kota Terlarang.

Akibat kesulitan dalam mendanai anggaran pengeluaran sebuah keluarga kekaisaran, Puyi pada September 1923 terpaksa menyetujui pembebasan tugas sebagian besar pelayan istana. Karena itu para dayang yang sudah mencapai usia 24 tahun akan dibebastugaskan sebelum Festifal Pertengahan Bulan Musim Gugur tahun itu.

Masing-masing diberi pesangon sebesar 100 Yuan sebagai modal untuk mencari sendiri masa depan.

Tetapi di masa Tiongkok yang banyak gejolak saat itu, para mantan dayang yang tidak memiliki keterampilan khusus ini menghadapi kesulitan untuk menghidui diri.

Meskipun sebagian dari mereka berhasil menikah setelah keluar dari Kota Terlarang, atau tetap menjadi pelayan bagi keluarga bangsawan Tiongkok, tetapi tidak sedikit yang terpaksa menjual diri, ada yang menggembara seorang diri, menjadi gelandangan dan mati tragis.

Meskipun sudah beralih menjadi kerajaan kecil, namun tradisi yang berlaku pada jaman Dinasti Qing masih juga dibawa, yaitu setiap 3 tahun sekali mengadakan penseleksian  untuk merekrut para dayang baru.

Cara memilihnya yaitu gadis-gadis kandidat yang umumnya berusia antara 13-14 tahun dengan badan tanpa cacat, tidak mengeluarkan bau yang tak sedap dan berhasil mengoleksi 3 panji kecil yang ditancapkan oleh juri yang menyeleksi, akan menjadi nominasi.

Tetapi yang memiliki hubungan keluarga dengan dayang yang sudah bekerja di dalam istana tidak diperbolehkan ikut melamar. Para calon dayang itu tidak bebas berpakaian sewaktu mengikuti seleksi, harus menggunakan busana congsam. Pada April 1919 pihak kerajaan bahkan masih mengeluarkan sejumlah aturan berbusana bagi para gadis yang mengikuti seleksi menjadi pelayan di istana.

Penyeleksian dayang itu biasa dilakukan pada Maret oleh Bagian Rumah Tangga Kerajaan. Setiap kali pemilihan selalu diikuti oleh sekitar 80 orang gadis-gadis pelamar yang dibagi ke dalam 3 kelompok dengan panji kuning emas, kuning dan putih sebagai lambang. Mereka diminta untuk menunggu panggilan di bagian luar dari Gerbang Shenwu (Gate of Divine Might). Para gadis setelah namanya didaftar kembali oleh petugas istana akan dipandu masuk ke dalam istana ruang kepala kasim yang akan meneliti keterampilan misalnya jahit menjahit, dan secara hati-hati mengamati tubuh mereka. Yang tidak sesuai selera, maka out.

Tetapi kepada mereka yang terpilih akan diajarkan sejumlah aturan dan tata cara istana yang cukup ketat untuk dipelajari dan diikuti, juga diberi kesempatan untuk belajar tulis menulis. Setahun kemudian, mereka kembali akan diuji, yang pintar baru dapat menjadi pelayan selir, yang kurang didorong masuk dapur atau pekerjaan kasar di belakang.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan