PALEMBANG SEKARAT! Ratusan Anak Sungai Musi Punah, Identitas Kota Air Terancam Tenggelam!

Focus Group Discussion (FGD) "Sungai: Jejak Sejarah, Realita Hari Ini, dan Masa Depan Kota Palembang" pada Senin (14/7/2025).--

PALEMBANG,KORANRADAR.ID  – Di tengah gemerlap modernisasi, sebuah tragedi senyap tengah merenggut jantung Kota Palembang: ratusan anak sungai Musi, yang dulu menjadi nadi kehidupan, kini sekarat bahkan punah! Dari jejak kolonial yang mencatat ratusan, kini sebagian besar telah ditimbun, dicemari limbah, atau dibiarkan mati perlahan. Ironisnya, alih-alih mengatasi akar masalah, pemerintah justru terkesan abai, sementara masyarakat seolah kehilangan kesadaran akan urgensi ekosistem vital ini.

Dari Pusat Peradaban Air Menjadi "Got Raksasa": Kisah Pilu Sungai Palembang

Sejarawan Universitas Sriwijaya (Unsri) dan Ketua Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass), Dr. Dedi Irwanto, M.A., menyuarakan alarm keras. "Palembang adalah kota sungai. Bukan hanya karena Sungai Musi yang membelahnya, tetapi karena seluruh nadi kehidupan masyarakatnya dahulu mengalir lewat ratusan anak sungai," tegas Dedi dalam Focus Group Discussion (FGD) "Sungai: Jejak Sejarah, Realita Hari Ini, dan Masa Depan Kota Palembang" pada Senin (14/7/2025).

Dulu, tepian sungai adalah pusat kehidupan: pasar berdenyut, rumah-rumah berdiri kokoh, hingga pusat kekuasaan bersemi. "Namun kini, wajah lama kota ini nyaris tak dikenali lagi. Banyak sungai yang ditimbun, dialihkan, disempitkan, bahkan dibiarkan mati. Palembang, yang dikenal sebagai kota air, kini kehilangan sungainya!" keluhnya.

BACA JUGA: Jelajah Sungai Musi dengan Ketek Wisata

Dedi menjelaskan, Palembang pernah memiliki budaya tepian sungai yang kuat. Rumah-rumah menghadap air, sungai adalah jalur utama transportasi, perdagangan, dan bahkan pemerintahan. "Sayangnya, budaya itu kini hampir lenyap dari kesadaran masyarakat. Modernisasi telah mengubah cara pandang kita terhadap sungai. Dari ruang hidup, menjadi sekadar saluran buangan!" ujarnya miris.

Kolonialisme dan Pembangunan Buta: Awal Mula Bencana Ekologis

Sejak awal abad ke-20, kolonialisme membawa perubahan drastis. Sungai dianggap sebagai "masalah sanitasi" yang harus ditaklukkan. "Pemerintah kolonial mulai menimbun dan membangun jalan di atas sungai," terang Dedi. Bahkan, meski sempat mengundang ahli sungai dari Belanda, Rudolf A. van Sandick, pada 1913, hasil penelitiannya justru berujung pada penutupan banyak sungai demi pembangunan pelabuhan, pasar, dan jalan.

Salah satu ironi terbesar adalah Sungai Tengkuruk. Abad ke-17 menjadi jalur diplomatik menuju Kraton Cinde Belang, kini hanya pasar, beton, dan kemacetan yang tersisa. "Banyak warga tidak tahu bahwa jalan yang mereka lewati setiap hari dulunya adalah sungai," ungkap Dedi. Ini adalah bukti bagaimana kekuasaan telah mengubah ruang dan menghapus sistem lokal berbasis air yang telah ada ratusan tahun.

Transformasi tragis ini berlanjut hingga era republik. Proyek perluasan kota, pengeringan lahan, dan urbanisasi semakin mempercepat kematian anak-anak sungai. "Dari 117 anak sungai yang tercatat pada awal abad ke-20, kini sebagian besar hanya tinggal nama. Banyak yang berubah menjadi got tertutup, sementara sisanya mati perlahan sebagai saluran limbah," paparnya.

BACA JUGA:Pemkot dan Pelaku UMKM Tebar Benih Ikan di Sungai Musi

Revitalisasi Tanpa Jiwa dan Ancaman Peradaban yang Tenggelam

Proyek seperti Sekanak Lambidaro memang memberikan secercah harapan. Namun, Dedi mengingatkan, "Jika tidak disertai kesadaran sejarah dan budaya, proyek-proyek semacam itu hanya akan menjadi lanskap tanpa jiwa." Ia menegaskan, "Kota yang menutup airnya sendiri harus belajar membuka kembali, bukan hanya jalur airnya, tetapi juga memori kolektifnya."

Membangun kota berkelanjutan di atas lahan bekas rawa bukan sekadar infrastruktur, melainkan rekonsiliasi ruang dan kesadaran sejarah. "Palembang, dan kota-kota sungai lainnya di Indonesia, perlu menata ulang narasi kotanya—dari yang meminggirkan sungai menjadi kota yang merangkul dan memulihkannya. Menyelamatkan sungai bukan soal nostalgia, tetapi keharusan ekologis dan kebudayaan. Karena ketika sungai hilang, yang ikut tenggelam bukan hanya air, tetapi juga identitas kota itu sendiri!"

Senada dengan Dedi, Sejarawan dari UIN Raden Fatah Palembang, Dr. Kemas A.R. Panji, M.Si., juga menekankan pentingnya penyelamatan anak-anak sungai Musi. "Sungai Musi masih berkilau, tetapi kilau itu bukan lagi cermin kejernihan. Di balik alirannya, ada cerita-cerita lama yang nyaris tenggelam bersama lumpur dan limbah yang lebih menyengat dari harapan," ucapnya pilu.

BACA JUGA:Unjuk Kebolehan Aksi Petarung 'Ksatria Sungai Musi'

Data Mengejutkan: 700 Sungai Tinggal 114, Akankah Palembang Benar-Benar Mati?

"Palembang itu peradaban air. Kita bukan hanya kota di tepian sungai, melainkan kota yang tumbuh di atas sungai," tegas Kemas. Catatan I-Tsing pada abad ke-7 hingga peta kolonial Belanda menunjukkan lebih dari 700 sungai mengaliri kota ini. Namun, data Koalisi Kawali (2025) kini mencatat hanya tersisa 114 sungai aktif! "Ini adalah alarm keras akan abainya pengelolaan warisan ekologis Palembang," imbuhnya.

Tepi-tepi sungai yang dulu hidup dengan rumah panggung dan perahu rakit kini berubah menjadi kanal mati dan drainase beton. "Restorasi tanpa partisipasi warga hanya akan jadi proyek mercusuar!" Kemas memperingatkan.

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, sungai adalah jalur perdagangan, sistem pertahanan, sekaligus tempat tumbuhnya budaya rakyat. "Sekarang, anak-anak kita banyak yang tak kenal lagi nama-nama sungai di kampungnya. Sungai Aur, Prigi, atau Sekanak terdengar asing. Padahal itu identitas," katanya prihatin.

Harapan Terakhir: Satgas Khusus dan Regulasi Ketat!

Kemas yakin harapan belum musnah. Penelitian menunjukkan sungai masih bisa menjadi koridor wisata sejarah dan ekonomi hijau. Revitalisasi, pemberdayaan komunitas, promosi perahu ketek, dan pelestarian rumah limas adalah strategi yang ia ajukan. "Jika kita gagal menjaga sungai hari ini, maka kita sedang menenggelamkan peradaban esok hari," tegasnya.

Budayawan Palembang dan YouTuber, Hidayatul Fikri, mendesak pembentukan Satgas Percepatan Normalisasi Sungai. "Kita juga mendesak agar Pemkot Palembang segera memblok di BPN koordinat sungai-sungai agar tidak diterbitkan sertifikat," ujarnya.

Langkah konkret lain yang diusulkan adalah pembuatan jaring pembatas antar wilayah kelurahan untuk pengawasan sungai, penerbitan Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan membuang sampah sembarangan di sungai, melibatkan pihak profesional, membangun transportasi sungai, dan membuat master plan penanganan sungai dan air di kota Palembang.

Akankah Palembang mampu bangkit dari 'kematian' sungainya, ataukah kota ini akan benar-benar kehilangan identitas aslinya? Masa depan "Venice dari Timur" ini ada di tangan kita semua! (zar)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan